REVIEW
TERHADAP TULISAN YUSUF FAHRURROZI TENTANG RINTISAN SEKOLAH BERTARAF
INTERNASIONAL
(Analisis
Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010)
Oleh
: Arif Wibowo
A.
Pendahuluan
Bangsa Indonesia saat ini tertinggal jauh
dengan bangsa lain, baik dalam hal penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi, serta kesejahteraan bangsanya. Jangankan untuk bersaing di
tingkat Internasional, dalam lingkup regional saja bangsa Indonesia tertinggal
dengan negara tetangganya .
Maka dalam rangka
mengatasi era Global, pemerints Indonesia memiliki kebijakan mengembangkan
kualitas pendidikan agar SDM mempunyai kualitas yang tinggi. Mellenium
Develpment Goals, (era pasar bebas) atau bisa juga disebut globalisasi yang
semula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi 2015.[1]
Maka salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan
tersebut salah satunya melalui jalur pendidikan dengan mencetuskan program
Sekolah Bertaraf Internasional (selanjutnya dibaca :SBI).
Inti dari SBI adalah
semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar dan berefleksi
serta berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap pendidikan demokratis
dan mulltikultural. Guru dalam SBI didesain sebagai sosok yang sangat paham
makna dari konsep pembelajaran deep – learning, higher order thingking
skills, dan contextual learning. Kemajuan pada Siswa ditunjukkan
dengan semakin tampaknya sikap kemandirian, tanggung jawab, kemampuan bekerja
sama, kejujuran, toleransi, dan berani menghadapi resiko.
Namun meskipun RSBI
merupakan salah satu bentuk terobosan Depdiknas tak bisa di pungkiri ada
beberapa hal yang cukup merisaukan dalam perkembangannya di Indonesia.
B.
Landasan
Hukum Sekolah Bertaraf Internasional
1.
UU
No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi “pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang – kurangnya satu satuan pendidikan yang bertaraf
Internasional.
2.
Peraturan
Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 pasal 1
No 35
Yang merupakan terjemahan dari
istilah “satuan pendidikan yang bertaraf Internasional” dalam PP tersebut
berbunyi : “Pendidikan Bertaraf Internasional adalah Pendidikan yang diselenggarakan setelah
memenuhi Standar Nasional pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan
negara maju”
Berbekal dari dua ayat itu maka Depdiknas segera mengeluarkan
program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang proyek rintisannya (RSBI)
saja telah menyertakan ratusan SMP dan SMA hampir di semua Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan
dana ratusan milyar.
Jika ditelusuri secara mendalam maka program
RSBI ini sudah terdapat permasalahan sejak dari Undang-undangnya. Mari kita lihat UU Sisdiknas 2003 Pasal 50
ayat (3) berbunyi sbb : Pemerintah dan/atau pemerintah daerah
menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang
pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf Internasional.
Setidaknya Ada 4 (empat) masalah yang
muncul dari pasal ini
a.
Adanya ambiguitas dari istilah
‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah’ pada pasal tersebut.
Jadi frase dan/atau ini bisa berarti :
Pemerintah dan Pemerintah Daerah = kedua-duanya
Pemerintah atau pemerintah Daerah = salah satunya
Jadi penyelenggara program SBI ini bisa salah satu atau
kedua-duanya. Bagaimana sebenarnya konsep yang dikehendaki oleh Kemdiknas dalam
masalah penyelenggaraan ini? Bisa salah satu (Pemerintah Pusat saja atau
Pemerintah Daerah saja) atau mesti kedua-duanya (Pemerintah Pusat dan Pemda)
b.
Tidak jelasnya istilah ‘satuan
pendidikan yang bertaraf internasional’itu sendiri. Tidak jelas apa yang
dimaksud dengan ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ tersebut.
Definisi tentang ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ yang ada dalam
UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) tersebut yang kemudian diterjemahkan dalam
Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal 1 No 35 menjadi :
“Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang
diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya
dengan standar pendidikan negara maju.”
Jadi frase ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’
dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) kemudian dalam PP no 17 tahun 2010
ini telah berubah menjadi Pendidikan bertaraf internasional dan kemudian
dijelaskan dengan tambahan keterangan Pendidikan bertaraf internasional adalah
pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan
dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
c.
Ketidak-jelasan konsep yang hendak
dikerjakan oleh Undang-undang ini. Sebenarnya apa yang dikehendaki oleh Pemerintah
dengan adanya UU ini? Mengapa muncul istilah ‘Sekolah Bertaraf Internasional’?
Bukankah maksud dari semua itu adalah agar Indonesia memiliki sekolah khusus
bagi anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tertentu atau yang disebut ‘the
gifted and the most talented’ yang akan dapat dididik dan diberi proses
pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan keberbakatan mereka?
Lantas mengapa menggunakan istilah ‘Sekolah bertaraf Internasional’ yang seakan
tidak punya landasan akademik
d.
Otoritas lingkup kerja Pemerintah
(Kemdiknas) dalam menyelenggarakan program SBI atau RSBI
Sikap ini menimbulkan kerancuan dalam lingkup kerja
pemerintah. Jika sekolah swasta masuk dalam lingkup kerjanya (dengan memasukkan
mereka dalam program RSBI ini) maka sebenarnya beberapa kota besar telah
memiliki pendidikan yang bertaraf internasional yang berstatus swasta karena
sebenarnya sekolah-sekolah swasta inilah sebenarnya yang memulai adanya program
ini dan memberi ide pada pemerintah untuk mengadopsinya ke sekolah publik. Jika
sekolah swasta dapat dianggap sebagai ruang lingkup otoritas dan tanggung jawab
pemerintah dan pemerintah daerah maka sebetulnya pemerintah dan pemerintah
daerah, utamanya di kota-kota besar, tidak perlu mengadopsinya ke sekolah
(publik). Tugas dan tanggungjawab mereka telah terpenuhi dengan adanya sekolah
swasta yang memiliki pendidikan yang bertaraf internasional.
C.
Mekanisme
Implementasi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
1.
Filosofi
Dasar Penyelenggaraan RSBI
Didasari filosofi eksistensialisme
dan esensialisme (fungsionalisme)
filosofi
eksistensialisme berkeyakinan
bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik
seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan
yang bermartabat, pro – perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif, menumbuhkan
dan mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik. Pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan
kebutuhan baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor
dan sub – sub sektornya, baik lokal , nasional maupun internasional. Terkait
dengan tuntutan globalisasi pendidikan harus menyiapkan SDM yang mampu bersaing
secara Internasionnal
Filosofi esensialisme berpandangan bahwa dalam
proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal
untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi
(kompetensi) Intelektual (IQ), Emosional (EQ), dan Spiritual (SQ).
Dalam
mengaktualisasikan kedua filosofi tersebut empat pilar pendidikan yaitu : learning
to know, learning to do, learning to live togethere and learning to be merupakan
patokan berharga bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia mulai dari
kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai
penilaiannya.
Namun pada kenyataannya tidak lah demikian, karena pendidikan itu
mestinya berlaku untuk semua golongan dan yang mengembangkan seluruh kecerdasan
tersebut tentu semua anak didik di
Indonesia dan seluruh aspek pendidik dan pendidikan dari semua elemen baik
negri maupun swasta dan seandainya ada perhatian yang lebih tentu tanpa adanya
diskriminasi baik secara katagori dan finansial
2.
Pendanaan
RSBI
Proyek ini akan dibiayai oleh
Pemerintah Pusat 50 %, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota
20 %. Kemudian pada tahab rintisan (RSBI) pemerintah mengeluarkan 300 juta
rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun.
3.
Sekilas
KBM di RSBI
Jumlah siswa di kelas dibatasi antara
24 – 30 per kelas. Kegiatan belajar mengajar akan menggunakan bilingual dengan
ketentuan :
Tahun ke
|
Prosentase
bahasa pengantar
|
|
Indonesia
|
Prosentase
|
|
Pertama
|
75 %
|
25 %
|
Kedua
|
50 %
|
50 %
|
Ketiga
|
25 %
|
75 %
|
Siswa yang dapat masuk SBI katagori
bibit unggul maka siswa diprioritaskan untuk belajar ilmu eksakta dan teknologi
informasi dan komunikasi. Karenanya siswa di beri fasilitas tambahan berupa komputer dengan
sambungan internet.
4.
Kurikulum
Kurikulum yang dipakai rumusnya
adalah SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan sedangkan X hanya
disebut sebagai penguat, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui
adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam Negri maupun
Luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara
Internasional umpamanya cambridge, IB (International Baccalaureate),
TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO.
D.
Keunggulan
(Dampak Positif) RSBI
1.
Dengan
pembelajaran yang bersifat interaktif dan inspiratif memotifasi peserta didik
untuk berbartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreaktifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan
fisik, serta psikologis peserta didik
2.
Penerapan
pembelajaran berbasis TIK terlepas dari pengaruh negatif selama pengguna
teknologi dapat memanfaatkan dengan benar dan tepat juga membawa pengaruh yang
positif dan juga mempermudah administrasi
3.
Memotifasi
para siswa untuk mampu bersaing dalam dunia global
E.
Kelemahan
(Dampak Negatif) RSBI
Ada beberapa hal yang
dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan
pemerintah tentang RSBI agar menjadi SBI dari berbagai sudup pandang baik dalam
sudut pandang sosial, ekonomi, dan psikologis
1.
Sosial
RSBI
akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif (hanya diperunt
ukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan / kecerdasan unggul) dan ekslusif
(pendidikan bagi anak orang kaya)
2.
Ekonomi
RSBI
lebih cenderung menggunakan perencanaan pendidikan dengan pendekatan cost
effectiveness adalah pendekatan yang menitik beratkan pemanfaaatan biaya
secermat mungkin untuk mendapatkan hasil pendidikan yang seoptimal mungkin baik
secara kuantitatif maupun kualitatif. Pendidikan ini hanya diadakan jika benar
– benar memberikan keuntungan yang relatif pasti baik bagi penyelenggara maupun
peserta didik. Konsekuensi dari
pendekatan ini adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di RSBI ,
sebab RSBI lebih menekankan efektifitas pendidikan dalam mencapai hasil yang
optimal baik secara kuantitas maupun kualitas , sehingga input pun di ambil
dari anak – anak yang memiliki kemampuan unggul baik secara akademik,
emosional, spiritual bahkan finansial.
Lahirnya
RSBI juga membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa
pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasinya adalah nampak
ketika RSBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah
RSBI. Hal ini berdalih karena bertaraf Internasional, dilengkapi dengan sistem
pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD , menggunakan teknologi
canggih, bilingual dan lain sebagainya.
3.
Psikologis
Bergulirnya
otonomi sekolah melahirkan MBS (manajemen berbasis sekolah) yang digunakan
sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah.
Sedangkan dalam RSBI sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari
negara lain.
Hal tersebut juga berakibat terhadap
siswa, di mana siswa RSBI selama ini dihadapkan pada dua kiblat yakni UNAS dan
Cambridge misalnya. Padahal siste adopsi atau berkiblat pada sistem ujian
Cambridge ataupun IB sebagaian menilai bahwa hal tersebut merupakan sebuah
pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Dicontohkan
bahwa di negara – negara maju seperti Singapura, Australia, dan New Zeland
pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun Internasional
semacam cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah
mereka.
Konsep
SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak
ketika penyelenggaraan RSBI lebih mementingkan alat/ media pembelajaran yang
canggih, billingual, berstandar Internasional daripada proses penanaman nilai
pada peserta didik.
[1]
E.Mulyasa, Kurukulum
Tingkat Satuan Pendidikan, cet. Ke – 3 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007),
hlm.2.
HEMM AKHIRNYA DIHAPUS JUGA RSBI
ReplyDelete