Saling Belajar dan Berbagi

Monday 15 April 2013

PENDIDIKAN KARAKTER DAN IMPLEMENTASINYA ARIF WIBOWO


            PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN

BAB 1
PENDAHULUAN
A.  LATAR BELAKANG
          Pendidikan adalah sebuah proses untuk mengubah jati diri seorang peserta didik untuk lebih maju. Nilai-nilai pendidikan sendiri adalah suatu makna dan ukuran yang tepat dan akurat yang mempengaruhi adanya pendidikan itu sendiri, diantara nilai-nilai dalam Pendidikan Karakter Bangsa yang terdiri dari beberapa unsur. Sekolah mulai dari Taman Kanak-kanak sampai Perguruan Tinggi memiliki peran penting sebagai agen penyebar virus positif terhadap karakter dan budaya bangsa. Tidak ada yang menolak tentang pentingnya karakter dan budaya, tetapi jauh lebih penting adalah bagaimana menyusun dan mensistemasikan sehingga anak-anak mampu lebih berkarakter dan berbudaya. Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang, yakni meningkatnya kenakalan remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah  sampai pada taraf yang sangat meresahkan.
Belum lepas dari ingatan kita akan kejadian akhir-akhir ini dengan maraknya berita aksi kenakalan remaja yang menghiasi di halaman surat kabar dan acara kriminalitas di siaran televisi belakangan ini. Berita-berita itu antara lain tawuran antar pelajar, penyalahgunaan atau bahkan sebagai pengedar obat-obat terlarang, mabuk-mabukan dengan minuman oplosan sendiri, kebut-kebutan liar di jalan raya, hubungan seks bebas, aborsi, coret-coret dan perusakan pada sarana dan prasarana umum, geng motor, nonton film porno yang berakibat memperkosa anak di bawah umur, menghajar bahkan hingga menelan korban jiwa kepada yunior atau adik kelasnya, bahkan sudah ada indikasi yang menjurus kepada aksi kriminal seperti penjambretan atau perampokan. Kejadian ini tentu saja mengundang keprihatinan kita bersama karena para pelakunya adalah sebagian masih usia remaja atau generasi penerus bangsa yang nota bene adalah masih berstatus sebagai pelajar.
Tindakan-tindakan destruktif yang dilakukan di kalangan remaja yang berstatus sebagai pelajar ini, seringkali ditujukan kepada pihak tenaga pendidik (guru) atau sekolah selaku agen yang mendidik peserta didik. Di sinilah letak beban berat pendidik sebagai pengajar dan sekaligus mendidik kader-kader penerus bangsa. Para pendidik harus mengajar sekian puluh bahkan ada yang sampai ratusan orang peserta didik yang memiliki heteroginitas baik dari segi sosial, ekonomi, dan lingkungan, serta harus mendidik moral, sikap, dan perilaku peserta didik. Dalam hal ini, peran dan tanggung jawab pendidik dituntut dan diuji kepiawaiannya dalam membimbing dan memajukan peserta didiknya. Pada hakikatnya, setiap warganegara bertanggung jawab atas keberlangsungan penyelenggaraan pendidikan. (UUSPN No.20 tahun 2003 pasal 6, ayat (2)). Sementara pada pasal 46 ayat (1) pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama antara Pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat. Namun, dalam kenyataannya seringkali terjadi lempar tuduhan bahwa seolah-olah keberhasilan pendidikan peserta didik baik pengetahuan, sikap dan perilakunya semata-mata merupakan beban para pendidik atau sekolah/madrasah semata. Tentu masih ada pihak lain seperti orangtua, masyarakat, yang bersama-sama memiliki beban tanggung jawab.
Kenyataan ini jika dianalogikan, keberadaan pendidik adalah seperti sebuah lampu listrik. Ketika lampu itu hidup orang pada diam saja, namun ketika lampunya mati maka spontan orang banyak yang mengomel bahkan tidak jarang yang melontarkan sumpah serapah terhadap instansi yang berwenang mengurusnya. Demikian halnya ketika ada peserta didik memiliki kemampuan yang menonjol dalam hal prestasi akademik ataupun non akademik sehingga sampai meraih sebuah kejuaraan dalam suatu kompetisi yang diselenggarakan, tetapi orang sering melupakan akan peran dari pendidik yang telah membinanya. Sebaliknya, jika ada peserta didik ada yang berbuat kenakalan yang bahkan menjurus kepada tindak kriminal, maka sasaran pertama yang mendapat getah cercaan adalah pendidik atau sekolahnya, siapa sih guru agamanya dan dari sekolah mana ?. Secara berkelakar ada teman yang sering mengatakan bahwa di wilayah republik ini, binatang yang paling laku keras adalah kambing. Mengapa? Karena selalu dikaitkan dengan “kambing hitam” untuk mencari-cari kesalahan dan tanggung jawab. Kenakalan yang dilakukan peserta didik ini pada umumnya berkaitan dengan masalah moral atau sikap yang berdampak kepada perilaku yang menyimpang. Untuk itu jika ada remaja atau peserta didik yang berbuat kenakalan yang berlebihan maka sering mendapatkan julukan sebagai anak yang tidak bermoral atau tidak memiliki budi pekerti.
Berbagai alternatif penyelesaian sudah sering menjadi tema yang termuat baik di surat kabar, acara televisi, majalah oleh beberapa nara sumber yang berbeda. Misalnya diajukan seperti peraturan, undang-undang, peningkatan upaya pelaksanaan dan penerapan hukum yang lebih kuat. Alternatif lain yang banyak dikemukakan untuk mengatasi, paling tidak mengurangi, masalah budaya dan karakter bangsa yang dibicarakan itu adalah pendidikan. Pendidikan dianggap sebagai alternatif yang bersifat preventif karena melalui pendidikan dapat membangun generasi baru bangsa yang lebih baik. Sebagai alternatif yang bersifat preventif, pendidikan diharapkan dapat mengembangkan kualitas generasi muda bangsa dalam berbagai aspek yang dapat memperkecil dan mengurangi penyebab berbagai masalah budaya dan karakter bangsa. Memang diakui bahwa hasil dari pendidikan akan terlihat dampaknya dalam waktu yang tidak segera, tetapi memiliki daya tahan dan dampak yang kuat di masyarakat.
Karakter dalam persepektif Pendidikan Islam sama  dengan akhlak (kepribadian)  Kepribadian itu komponennya tiga yaitu tahu (pengetahuan), sikap dan perilaku. Yang dimaksud dengan kepribadian yang utuh dalam islam adalah ketika tahu dibarengi dengan sikap dan juga perilaku. Penulis ambil sebuah contoh, ada seorang manusia beragama islam yang sudah mengerti dan paham bahwa alkohol adalah hal yang diharamkan dalam agama islam, tetapi dalam aplikasi hidupnya sehari-hari ia sangat akrab dengan benda yang diharamkan tersebut bahkan berani untuk meminumnya. Itulah yang dinamakan kepribadian yang retak dalam islam, ia hanya sekedar mengetahui bahwa alkohol adalah benda haram, namun secara sikap dan perilaku tidak menunjukkan.
Islam sangat mementingkan pendidikan, tentunya dengan pendidikan berbasis karakter yang sedang dilaksanakan saat ini di Indonesia yakni Kurikulum Berbasis Karakter sangat sepaham dengan ajaran agama Islam. Dengan pendidikan yang benar dan berkualitas, individu-individu yang beradab akan terbentuk yang akhirnya memunculkan kehidupan sosial yang bermoral. Tujuan utama pendidikan dalam Islam adalah mencari Ridha Allah swt. Dengan pendidikan, diharapkan akan lahir individu-indidivu yang baik, bermoral, berkualitas, sehingga bermanfaat kepada dirinya, keluarganya, masyarakatnya, negaranya dan umat manusia secara keseluruhan. Disebabkan manusia merupakan fokus utama pendidikan, maka seyognyalah institusi-institusi  pendidikan memfokuskan kepada substansi kemanusiaan, membuat sistem yang mendukung kepada terbentuknya manusia yang baik, yang menjadi tujuan utama dalam pendidikan.
Dalam pandangan Islam, manusia bukan saja terdiri dari komponen fisik dan materi, namun terdiri juga dari spiritual dan jiwa. Oleh sebab itu, sebuah institusi pendidikan bukan saja memproduksi anak didik yang akan memiliki kemakmuran materi, namun juga yang lebih penting adalah melahirkan individu-individu yang memiliki diri yang baik sehingga mereka akan menjadi manusia yang serta bermanfaat bagi umat dan mereka mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Institusi pendidikan perlu mengarahkan anak didik supaya mendisiplinkan akal dan jiwanya, memiliki akal yang pintar dan sifat-sifat dan jiwa yang baik, melaksanakan perbuatan-perbuatan yang baik dan benar, memiliki pengetahuan yang luas, yang akan menjaganya dari kesalahan-kesalahan, serta memiliki hikmah dan keadilan.
Sesuai dengan pengertian pendidikan yang merujuk pada usaha pencapaian yang dilakukan untuk membuat manusia terbentuk menjadi manusia seutuhnya yang tak hanya dibekali pengetahuan, akan tetapi juga dibekali sikap, perilaku, akhlak dan karakter yang diharapkan tentunya mampu menjadikan manusia yang mempunyai kepribadian yang utuh. Islam mengharapkan tumbuhnya karakter-karakter bangsa yang baik dan terbentuk di dalam diri manusia melalui tujuan pendidikan, maka karakter sangatlah penting diberikan di dalam pendidikan.
Melalui kancah pendidikan, selain untuk mentransfer ilmu pengetahuan dan teknologi juga untuk membangun karakter bangsa yang kuat, ulet, peduli dan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan tentunya hal ini sesuai dengan ajaran Islam dan tidak menyimpang dari ajaran Islam yang selanjutnya harus di implementasikan dalam setiap pembelajaran. Dari berbagai permasalahan di atas penulis menulis sebuah makalah dengan judul “Pendidikan Karakter Di Sekolah  Dan Implementasinya Dalam Pembelajaran”.

B.  RUMUSAN MASALAH
Sebagai batasan pembahasan dalam penyusunan Paper ini penulis memberikan rumusan masalah sebagai berikut :
1.    Bagaimana  Konsep Dasar Pendidikan Karakter ?
2.    Bagaimana Pendidikan Karakter Di Sekolah ?
3.    Bagaimana Implementasi Pendidikan Karakter Dalam Pembelajaran ?










BAB II
PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH DAN IMPLEMENTASINYA DALAM PEMBELAJARAN

I.     PENDIDIKAN KARAKTER
A.  PENGERTIAN
1.    Karakter
Karakter adalah istilah yang diambil dari bahasa yunani yang berarti “to mark” (menandai), yaitu menandai tindakan atau tingkah laku seseorang. Kemudian istilah ini banyak digunakan bahasa Perancis “caratere” pada abad ke – 14 dan kemudian masuk dalam bahasa Inggris menjadi “character” yang akhirnya masuk dalam bahasa Indonesia menjadi karakter.
          Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai sifat – sifat kejiwaan, akhlaq atau budi pekerti yang menjadi ciri khas seseorang.[1] Menurut Samani, karakter dimaknai sebagai cara berpikir dan berperilaku yang khas tiap individu untuk hidup dan bekerja sama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa, dan Negara. Individu yang berkarakter baik adalah individu yang dapat membuat keputusan dan sikap mempertanggungjawabkan setiap akibat dari keputusannya. Karakter dapat dianggap sebagai nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata kerama, budaya, adat istiadat, dan estetika.[2]
          Dengan demikian dapat dipahami, karakter adalah sifat, watak, tabiat, budi pekerti atau akhlaq yang dimiliki oleh seseorang yang merupakan ciri khas yang dapat membedakan perilaku, tindakan dan perbuatan antara yang satu dengan yang lain. Jadi meskipun karakter memang berada di relung paling dalam sisi batin manusia, namun karakter dapat terlihat atau terdeteksi karena dapat ditampakkan oleh seseorang melalui perilaku sehari – hari.
2.    Pendidikan Karakter
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan. Di samping itu, pendidikan karakter dimaknai sebagai suatu perilaku warga sekolah yang dalam menyelenggarakan pendidikan  harus berkarakter.
          Menurut T. Ramli, pendidikan karakter memiliki esensi dan makna yang sama dengan  pendidikan moral dan pendidikan akhlak. Tujuannya adalah membentuk  pribadi anak, supaya menjadi manusia yang baik, warga masyarakat, dan   warga negara yang baik. Adapun kriteria manusia yang baik, warga   masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat    atau bangsa, secara umum adalah nilai-nilai sosial tertentu, yang  banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya. Oleh karena  itu, hakikat dari pendidikan karakter dalam konteks pendidikan di Indonesia adalah pedidikan nilai, yakni  pendidikan nilai-nilai luhur   yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri, dalam rangka  membina kepribadian generasi muda.[3]
          Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter adalah pendidikan untuk membentuk  kepribadian seseorang agar memiliki karakter atau akhlaq, yang hasilnya dapat dilihat dalam tindakan nyata , yaitu berupa tingkah laku yang baik, seperti jujur, bertanggungjawab, kerja keras, menghormati orang lain dan sebagainya.
B.  URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER
      Pendidikan Karakter menjadi urgen karena Pembentukan karakter merupakan salah satu tujuan pendidikan nasional. Pasal I UU Sisdiknas tahun 2003 menyatakan bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Amanah UU Sisdiknas tahun 2003 itu bermaksud agar pendidikan tidak hanya membentuk insan Indonesia yang cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter, sehingga nantinya akan lahir generasi bangsa yang tumbuh berkembang dengan karakter yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa serta agama.
     Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. Dengan demikian pendidikan karakter ini, sebaiknya diterapkan sejak usia kanak-kanak atau yang biasa disebut para ahli psikologi sebagai usia emas (golden age), karena usia ini terbukti sangat menentukan kemampuan anak dalam mengembangkan potensinya. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sekitar 50% variabilitas kecerdasan orang dewasa sudah terjadi ketika anak berusia 4 tahun. Peningkatan 30% berikutnya terjadi pada usia 8 tahun, dan 20% sisanya pada pertengahan atau akhir dasawarsa kedua. Dari sini, sudah sepatutnya pendidikan karakter dimulai dari dalam keluarga, yang merupakan lingkungan pertama bagi pertumbuhan karakter anak.[4] Namun bagi sebagian keluarga, barangkali proses pendidikan karakter yang sistematis di atas sangat sulit, terutama bagi sebagian orang tua yang terjebak pada rutinitas yang padat. Karena itu, seyogyanya pendidikan karakter juga perlu diberikan saat anak-anak masuk dalam lingkungan sekolah, terutama sejak play group dan taman kanak-kanak. Di sinilah peran guru, yang dalam filosofi Jawa disebut digugu lan ditiru, dipertaruhkan. Karena guru adalah ujung tombak di kelas, yang berhadapan langsung dengan peserta didik.
       Sebuah buku yang berjudul Emotional Intelligence and School Success (Joseph Zins, et.al, 2001) mengkompilasikan berbagai hasil penelitian tentang pengaruh positif kecerdasan emosi anak terhadap keberhasilan di sekolah. Dikatakan bahwa ada sederet faktor-faktor resiko penyebab kegagalan anak di sekolah. Faktor-faktor resiko yang disebutkan ternyata bukan terletak pada kecerdasan otak, tetapi pada karakter, yaitu rasa percaya diri, kemampuan bekerja sama, kemampuan bergaul, kemampuan berkonsentrasi, rasa empati, dan kemampuan berkomunikasi. Hal itu sesuai dengan pendapat Daniel Goleman tentang keberhasilan seseorang di masyarakat, ternyata 80 persen dipengaruhi oleh kecerdasan emosi, dan hanya 20 persen ditentukan oleh kecerdasan otak (IQ). Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia pra-sekolah, dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, miras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.


C.  TUJUAN PENDIDIKAN KARAKTER
Adapun tujuan pendidikan karakter bangsa adalah :
·      Mengembangkan potensi kalbu/nurani/afektif peserta didik sebagai manusia dan warganegara yang memiliki nilai-nilai budaya dan karakter bangsa;
·      Mengembangkan kebiasaan dan perilaku peserta didik yang terpuji dan sejalan dengan nilai-nilai universal dan tradisi budaya bangsa yang religius;
·      Menanamkan jiwa kepemimpinan dan tanggung jawab peserta didik sebagai generasi penerus bangsa;
·      Mengembangkan kemampuan peserta didik menjadi manusia yang mandiri, kreatif, berwawasan kebangsaan; dan
·      Mengembangkan lingkungan kehidupan sekolah sebagai lingkungan belajar yang aman, jujur, penuh kreativitas dan persahabatan, serta dengan rasa kebangsaan yang tinggi dan penuh kekuatan (dignity).
D.  DASAR PENDIDIKAN KARAKTER
Sebagaimana yang titetapkan oleh Kementrian Pendidikan Nnasional yang menjadi dasar pendidikan karakter adalah :
1.  Agama
Masyarakat Indonesia adalah masyarakat beragama. Oleh karena itu, kehidupan individu, masyarakat, dan bangsa selalu didasari pada ajaran agama dan kepercayaannya. Secara politis,  kehidupan kenegaraan pun didasari pada nilai-nilai yang berasal dari agama. Atas dasar pertimbangan itu, maka nilai-nilai pendidikan budaya dan karakter bangsa harus didasarkan pada nilai-nilai dan kaidah yang berasal dari agama.
2.  Pancasila
Negara kesatuan Republik Indonesia ditegakkan atas prinsip-prinsip kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang disebut Pancasila. Pancasila terdapat pada Pembukaan UUD 1945 dan dijabarkan lebih lanjut dalam pasal-pasal yang terdapat dalam UUD 1945.Artinya, nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila menjadi nilai-nilai yang mengatur kehidupan politik, hukum, ekonomi, kemasyarakatan, budaya, dan seni. Pendidikan budaya dan karakter bangsa bertujuan mempersiapkan peserta didik menjadi warga negara yang lebih baik, yaitu warga negara yang memiliki kemampuan, kemauan, dan menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupannya sebagai warga negara.
3.  Budaya
Sebagai suatu kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antaranggota masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan budaya dan karakter bangsa.
4.  Tujuan Pendidikan Nasional
  Tujuan Pendidikan Nasional, sebagai rumusan kualitas yang harus dimiliki setiap warga negara Indonesia, dikembangkan oleh berbagai satuan pendidikan di berbagai jenjang dan jalur. Tujuan pendidikan nasional memuat berbagai nilai kemanusiaan yang harus dimiliki warga negara Indonesia. Oleh karena itu, tujuan pendidikan nasional adalah sumber yang paling operasional dalam pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa.
5.  Media
Perlu pula ditambahkan sebagai suatu kekuatan pembentuk perilaku umum (common opinion) sekaligus saluran informasi yang dalam banyak hal dapat memperluas pendidikan karakter bangsa tetapi di sisi lain menjadi saluran penetrasi budaya asing. Selain itu media sebagai kekuatan demokrasi suatu bangsa (Walter Lipman), memainkan peran strategis dalam menumbuhkan demokrasi, termasuk demokrasi Pancasila sebagai karakter bangsa Indonesia.[5]
Dari kelima sumber itu maka pelaksanaan pendidikan karakter dapat diselenggarakan oleh masyarakat, melalui lembaga agama dan pranata sosial-kebudayaan, serta diselenggarakan oleh pemerintah melalui jalur pendidikan formal. Baik yang diselenggarakan oleh masyarakat maupun pemerintah keduanya merupakan satu kesatuan yang saling terkait. Sumber-sumber pendidikan karakter bangsa itu menunjukkan bahwa setiap elemen berperan sesuai fungsi sosial masing-masing. Yang dibentuk dalam tiap elemen itu adalah manusia atau warga bangsa, sehingga baik ia dibentuk melalui nilai-nilai partikular baik dalam agama maupun kebudayaan, perlu ada nilai bersama (common value/common platform) sebagai acuan utama pengembangan pendidikan karakter bangsa. 
E.  PILAR PENDIDIKAN KARAKTER
       Pendidikan karakter utuh dan menyeluruh menawarkan beberapa alternatif pengembangan keutamaan untuk membentuk karakter individu menjadi pribadi berkeutamaan. Pilihan prioritas keutamaan itu didasarkan pada tiga matra pendidikan karakter yang menjadi dasar bagi pengembangan pendidikan karakter utuh dan menyeluruh, yaitu matra individual, matra sosial, dan matra moral. 12 Pilar Keutamaan menurut Doni Koesoema A adalah sebagai berikut :  
1.      Penghargaan Terhadap Tubuh
Penghargaan terhadap tubuh merupakan keutamaan fundamental yang perlu dikembangkan dalam diri setiap orang. Penghargaan terhadap tubuh termasuk di dalamnya kesediaan dan kemampuan individu menjaga dan merawat kesehatan jasmani tiap individu. Kesehatan jasmani merupakan salah satu bagian penting bagi pembentukan keutamaan. Pendidikan karakter mesti memprioritaskan tentang bagaimana individu dapat menjaga tubuhnya satu sama lain, tidak merusaknya, melainkan membuat keberadaan tubuh tumbuh sehat sesuai dengan perkembangan dan pertumbuhan kodratnya. Penghargaan terhadap tubuh merupakan ekspresi diri individu untuk menjadi perawat dan pelindung satu sama lain. Individu mesti menumbuhkan dalam dirinya sendiri keinginan untuk merawat tubuh diri dan orang lain, termasuk pertumbuhan psikologis dan emosionalnya.
2.      Transendental
Pengembangan keutamaan transendental, baik itu yang sifatnya religius, keagamaan, maupun yang sublim, seperti kepekaan seni, apresiasi karya-karya manusia yang membangkitkan refleksi serta kemampuan untuk memahami kebesaran yang Ilahi merupakan dasar bagi pengembangan pembentukan karakter. Setiap individu dianugerahi kepekaan akan sesuatu yang lembut, halus, yang bekerja secara rohani mendampingi manusia, kepekaan akan sesuatu yang adikodrati. Kepekaan akan yang Kudus, yang transenden, yang baik, yang indah, baik itu dalam diri manusia maupun di alam, merupakan salah satu sarana untuk membentuk individu menjadi pribadi berkeutamaan.
3.      Keunggulan Akademik
Keunggulan akademik adalah tujuan dasar sebuah lembaga pendidikan. Keunggulan akademik berbeda dengan sekedar lulus ujian. Keunggulan akademik mencakup di dalamnya, cinta akan ilmu, kemampuan berpikir kritis, teguh pada pendirian, serta mau mengubah pendirian itu setelah memiliki pertimbangan dan argumentasi yang matang, memiliki keterbukaan akan pemikiran orang lain, berani terus menerus melakukan evaluasi dan kritik diri, terampil mengomunikasikan gagasan, pemikiran, melalui bahasa yang berlaku dalam ruang lingkup dunia akademik, mengembangkan rasa kepenasaranan intelektual yang menjadi kunci serta pintu pembuka bagi hadirnya ilmu pengetahuan. Dari kecintaan akan ilmu inilah akan tumbuh inovasi, kreasi dan pembaharuan dalam bidang keilmuan.
4.      Penguasaan Diri
Penguasaan diri merupakan kemampuan individu untuk menguasai emosi dan perasaannya, serta mau menundukkan seluruh dorongan emosi itu pada tujuan yang benar selaras dengan panduan akal budi. Penguasaan diri termasuk di dalamnya kesediaan mengolah emosi dan perasaan, mau menempatkan kecondongan rasa perasaan sesuai dengan konteks dan tujuan yang tepat sebagaimana akal budi membimbingnya. Penguasaan diri termasuk di dalamnya kemampuan individu dalam menempatkan diri, bertindak dan berkata-kata secara bijak dalam ruang dan waktu yang tertentu.
5.      Keberanian
Keberanian merupakan keutamaan yang memungkinkan individu mampu melakukan sesuatu dan merelisasikan apa yang dicita-citakannya. Keberanian termasuk di dalamnya kesediaan untuk berkorban demi nilai-nilai yang menjadi prinsip hidupnya, tahan banting, gigih, kerja keras, karena individu tersebut memiliki cita-cita luhur yang ingin dicapai dalam hidupnya. Keberanian merupakan dorongan yang memungkinkan individu mewujudnyatakan dan merealisasikan impiannya.
6.      Cinta kebenaran
Cinta akan kebenaran merupakan dasar pembentukan karakter yang baik, bukan sekedar sebagai seorang pembelajar, melainkan juga sebagai manusia. Manusia merindukan kebenaran dan dengan akal budinya manusia berusaha mencari, menemukan dan melaksanakan apa yang diyakini sebagai kebenaran. Prinsip berpegang teguh pada kebenaran mesti diterapkan bagi praksis individu maupun dalam kehidupan bersama. Cinta akan kebenaran yang sejati memungkinkan seseorang itu berani mengorbankan dirinya sendiri demi kebenaran yang diyakininya. Sebab, keteguhan nilai-nilai akan kebenaran inilah yang menentukan identitas manusia sebagai pribadi berkarakter.
7.      Terampil
Memiliki berbagai macam kompetensi dan keterampilan yang dibutuhkan, bagi perkembangan individu maupun dalam kerangka pengembangan profesional menjadi syarat utama pengembangan pendidikan karakter yang utuh. Memiliki kemampuan dasar berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulisan, kompeten dalam bidang yang digeluti merupakan dasar bagi keberhasilan hidup di dalam masyarakat. Melalui kompetensinya ini seorang individu mampu mengubah dunia.
8.      Demokratis
Masyarakat global hidup dalam kebersamaan dengan orang lain. Ada kebutuhan untuk saling membutuhkan, bahu membahu satu sama lain. Masyarakat tidak dapat hidup secara tertutup sebab keterhubungan satu sama lain itu merupakan kondisi faktual manusia. Karena itu, setiap individu mesti belajar bagaimana hidup bersama, mengatur tatanan kehidupan secara bersama, sehingga inspirasi dan aspirasi individu dapat tercapai. Demokrasi mengandaikan bahwa individu memiliki otonomi dalam kebersamaan untuk mengatur kehidupannya sehingga individu dapat bertumbuh sehat dalam kebersamaan. Demokrasi termasuk di dalamnya pengembangan dan penumbuhan semangat kebangsaan.
9.      Menghargai Perbedaan
Perbedaan adalah kodrat manusia. Menghargai perbedaan merupakan sikap fundamental yang mesti ditumbuhkan dalam diri individu. Terlebih dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia, menghargai perbedaan mesti ditumbuhkan dalam diri tiap individu, karena negara kita ini berdiri karena para pendiri bangsa ini menghargai perbedaan, dan dalam perbedaan itu mereka ingin mempersatukan kekuatan dan tenaga dalam membangun bangsa.
10.  Tanggung jawab
Tanggungjawab merupakan unsur penting bagi pengembangan pendidikan karakter karena terkait dengan ekspresi kebebasan manusia terhadap dirinya sendiri dan orang lain. Tanggung jawab ini memiliki tiga dimensi, yaitu tanggungjawab kepada (relasi antara individu dengan orang lain), tanggungjawab bagi (hubungan individu dengan dirinya sendiri), serta tanggungjawab terhadap (hubungan individu terkait dengan tugas dan tanggungjawabnya di dalam masyarakat).
11.  Keadilan
Bersikap adil, serta mau memperjuangkan keadilan adalah sikap dasar pribadi yang memiliki karakter. Keadilan penting untuk diperjuangkan karena manusia memiliki kecenderungan untuk antisosial. Untuk itulah diperlukan komitmen bersama agar masing-masing individu dihargai. Dalam konteks hidup bersama, keadilan menjadi jiwa bagi sebuah tatanan masyarakat yang sehat, manusiawi dan bermartabat. Tanpa keadilan, banyak hak-hak orang lain dilanggar.
12.  Integritas Moral
Integritas moral merupakan sasaran utama pembentukan individu dalam pendidikan karakter. Integritas moral inilah yang menjadikan masing-masing individu dalam masyarakat yang plural mampu bekerjasama memperjuangkan dan merealisasikan apa yang baik, yang luhur, adil dan bermartabat bagi manusia, apapun perbedaan keyakinan yang mereka miliki. Integritas moral memberikan penghargaan utama terhadap kehidupan, harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan yang bernilai dan berharga apapun keadaan dan kondisinya. Kehadiran individu yang memiliki integritas moral menjadi dasar bagi konstruksi sebuah tatanan masyarakat beradab. Integritas moral muncul jika individu mampu mengambil keputusan melalui proses pertimbangan rasional yang benar, dan melaksanakannya dalam tindakan secara bijak, sesuai dengan konteks ruang dan waktu tertentu. Integritas moral termasuk di dalamnya kemampuan individu untuk membuat kebijakan praktis yang bermakna bagi hidupnya sendiri dan orang lain.[6]

II.     PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
A.      PRINSIP PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
Dalam pendidikan karakter diperlukan prinsip – prinsip dasar yang dapat dijadikan landasan dan pijakan pemikiran dalam menyelenggarakan pendidikan karakter agar berjalan efektif dan efisien. Prinsip – Prinsip dasar ini memberikan arah kemana dan bagaimana seharusnya pendidikan karakter dilaksanakan di sekolah – sekolah.
Doni Koesoema menyebutkan enam prinsip pendidikan karakter di sekolah yang dapat dijadikan sebagai pedoman agar mudah dimengerti dan dipahami oleh siswa dan setiap individu yang bekerja dalam setiap lingkungan pendidikan di sekolah.  Prinsip – Prinsip tersebut adalah :
(1)      Karakter ditentukan oleh apa yang kamu lakukan, bukan apa yang kamu katakan atau kamu yakini, (2) Setiap keputusan yang diambil menentukan akan menjadi orang macam apa dirimu (3) Karakter yang baik dilakukan dengan cara yang baik (4) Jangan mengambil perilaku buruk yang dilakukan oleh orang lain sebagai patokan, pilihlah patokan yang llebih baik dari mmereka, (5) Apa yang kamu lakukan memiliki makna dan transformatif, dan (6) Bayaran bagi mereka yang memiliki karakter baik adalah kamu menjadi karakter yang lebih baik.[7]
       Berdasarkan pada pandangan di atas, maka pengembangan pendidikan karakter di sekolah hendaklah berpedoman pada prinsip – prinsip pendidikan karakter agar pelaksanaannya berjalan secara efektif dan efisien. Prinsip – Prinsip tersebut dapat dijabarkan sebagai berikut :
Pertama, Pendidikan karakter mempromosikan nilai etika yang baik (akhlaqul karimah) sebagai modal karakter dasar yang akan ditanamkan. Pendidikan karakter memegang filosofi ada banyak nilai etika dasar seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggungjawab dan penghargaan terhadap diri dan lain – lain yang perlu segera diajarkan untuk membentuk karakter anak yang baik.
Kedua, Karakter harus didefinisikan secara komperhensif yang mencakup penalaran, perasaan dan perilaku. Program pendidikan yang efektif mencakup aspek kongnitif, emosional dan psikomotorik yang bertujuan untuk menumbuhkan pengertian, kepedulian dan tindakan yang berdasarkan nilai akhlaqul karimah . Oleh karena itu tugas pendidikan karakter adalah membantu para siswa agar belajar makna kebajikan, merasakan kebajikan dan bertindak berdasarkan kebajikan tersebut
Ketiga, Pendidikan karakter yang efektif memerlukan proaktif dan komperhensif yang mempromosikan nilai – nilai inti dalam semua fase pendidikan sekolah. Program pendidikan karakter di sekolah harus di desain dan direncanakan untuk mempengaruhi karakter siswa dengan langkah – langkah yang operasional, yang komperhensif yang melibatkan seluruh aspek pihak sekolah seperti kedisiplinan guru dan pegawai, kebijakan sekolah, kurukulum dan sebagainya.
Keempat, Sekolah harus menjadi komunitas yang peduli pada tumbuhnya kebajikan. Dalam mengembangkan pendidikan karakter, penciptaan lingkungan yang kondusif untuk tumbuhnya kesadaran dari semua warga sekolah sehingga terjalin hubungan yang harmonis diantara komunitas sekolah yang disemangati oleh rasa kepedulian yang tinggi.
Kelima, untuk mengembangkan karakter siswa membutuhkan kesempatan untuk tindakan moral. Sistem belajar paling baik adalah memberikan banyak kesempatan pada peserta didik menerapkan nilai – nilai kebajikan dalam berinteraksi sehari – hari. Dengan bergulat dengan kehidupan nyata, mereka mengetahui bagaimana membagi pekerjaan dalam sebuah kelompok pembelajaran secara kooperatif, bagaimana mencapai konsensus dalam suatu pertemuan kelas, bagaimana melakukan sebuah kegiatan proyek, bagaimana mengurangi perkelahian di arena bermain, bagaimana mengembangkan pemahan praktis tentang keadilan, kerjasama, dan rasa hormat. Pemberian kesempatan yang berulang – ulang untuk melakukan tindakan moral sehingga akan membentuk kebiasaan yang menjadi karakter
Keenam, pendidikan karakter yang efektif memberikan kebermaknaan dan menantang kurikulum akademis yang menghormati semua pelajar dan membantu semuanya berhasil. Pendidikan karakter dan pembelajaran akademis tidak boleh dianggap sebagai bidang yang terpisah, melainkan harus dipandang sebagai suatu kesatuan yang tidak bisa terpisah yang saling kuat dan mendukung. Dalam suasana kelas yang terjalin hubungan yang penuh perhatian, dimana siswa merasa senang dan dihormati oleh semua guru dan sesama teman, siswa lebih cenderung bekerja keras untuk mencapai tujuan yang diharapkan.
Ketujuh, Pendidikan karakter harus berusaha mengembangkan motivasi intrinsik siswa. Model pengembanga karakter yang baik adalah mengembangkan komitmen intrinsik siswa untuk melakukan perilaku yang bermoral berdasarkan nilai – nilai keagamaan . Mereka hatrus berusaha mengurangi ketergantungan yang bersifat ekstrinsik seperti motivasi untuk mendapat imbalan dan takut mendapat hukuman. Hal ini dapat dilakukan dalam membantu siswa dalam menghadapi tantangan dan memahami materi pelajaran, keinginan untuk bekerjasama dengan siswa lain di sekolah atau komunitas mereka.
Kedelapan, semua staf harus menjadi komunitas moral, dimana semua memiliki tanggungjawab untuk pengembangan pendidikan karakter. Ada tiga yang perlu diperhatikan yaitu ; (1) semua staf sekolah harus terlibat aktif dalam mempelajari, berdiskusi dan mengambil berbagai upaya untuk pengembangan pendidikan karakter. (2) Nilai – nilai keislaman (keagamaan) yang mengatur kehidupan siswa juga kehidupan semua warga sekolah, (3) sekolah memberi waktu kepada staf untuk merefleksi masalah – masalah moral melalui rapat staf dan kelompok – kelompok pendukung yang lebih kecil.
Kesembilan, Pendidikan karakter memerlukan kepemimpinan sekolah dan siswa yang bermoral. Untuk penanaman pendidikan karakter dibutuhkan pemimpin yang mempunyai moral yang baik dan bertanggungjawab dalam perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program. Demikian juga siswa juga bisa dilibatkan dalam peran kepemimpinan di antara mereka dalam pelaksanaan program.
Kesepuluh, Sekolah harus melibatkan orangtua dan masyarakat sebagai mitra dalam upaya untuk membentuk karakter anak. Orangtua adalah yang pertama dan paling penting dalam pendidikan karakter anak – anak mereka. Olehh karena itu, pihak sekolah harus berusaha membangun komunikasi dengan orang tua untuk merumuskan visi, misi, dan tujuan yang berhubungan dengan pembentukan karakter dan bagaimana oragtua dapat mendukung dalam program tersebut.
Kesebelas, Evaluasi pendidikan karakter harus menilai karakter sekolah, fungsi semua komponen sekolah sebagai pendidikan karakter, dan sejauhmana siswa memanifestasikan karakter yang baik. Pendidikan karakter yang efektif harus melaksanakan evaluasi untuk menilai kemajuan dalam tiga hal yaitu ; (1) karakter sekolah, sampai sejauh mana sekolah menjadi komunitas yang lebih peduli dalam mengimplementasikan pendidikan karakter, (2) semua komponen sekolah, sampai sejauh mana peran mereka dalam mendorong dan memotifasi serta menjadi teladan dalam pembentukan karakter, (3) karakter siswa, sampai sejauh mana pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai – nilai kebaikan.
Keduabelas,
B.       METODE PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
Untuk mencapai pendidikan karakter sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, dibutuhkan metode yang tepat agar pencapaiannya semakin terarah dan efektif. Untuk membangun karakter yang baik, metode yang digunakan tidak bisa hanya untuk meningkatkan aspek kognitif semata, akan tetapi harus seluruh dimensi spiritual, emosional, sosial, kreaktifitas, dan motorik juga harus dikembangkan secara terfokus dan terstruktur.
Menurut Ratna Magawangi, ada empat metode untuk mengembangkan pendidikan karakter, yaitu : mengetahui kebaikan (knowing the good), (2) mencintai kebaikan (loving the good) menginginkan kebaikan (desiring the good) dan mengerjakan kebaikan ( acting the good) secara simultan dan berkesinambungan.
                        Lebih lanjut Doni Kusuma, mengajukan lima metode pendidikan karakter yang diselenggarakan di sekolah yaitu ; mengajarkan, keteladanan, menentukan prioritas, praksis prioritas dan refleksi. [8]
1.    Mengajarkan
Mengajar adalah upaya memberikan pemahaman konseptual pada siswa tentang konsep nilai tertentu , keutamaan dan nilai maslahahnya, bila nilai dilaksanakan serta madharatnya bila nilai – nilai tersebut tidak dilaksanakan. Dalam konteks pendidikan karakter mengajarkan nilai dapat dilakukan dengan pendekatan dialogis, dimana siswa diberi kesempatan untuk mengajukan apa yang dipahaminya, apa yang pernah dialaminya, dan bagaimana perasaannya berkaitan dengan konsep yang diajarkan. Melalui pendekatan ini konsep yang diajarkan bukanlah sesuatu yang asing melainkan pernah dialami atau setidaknya pernah  dilihat.
2.    Keteladanan
Keteladanan adalah menempati posisi yang penting dalam pendidikan karakter. Setiap anak memiliki insting (fitrah) meniru. Kecenderungan yang terdapat dalam diri anak akan mendorong untuk mencontoh perbuatan orang – orang yang berada disekitarnya. Perbuatan yang ditiru lama – lama menjadi kebiasaan.[9] Oleh karena itu Guru dan lingkungan sekolah harus benar – benar menjadi teladan dan contoh yang baik bagi siswa.
3.    Menentukan Prioritas
Sekolah harus menetapkan prioritas yang jelas dari sekian banyak nilai yang akan diajarkan kepada siswa. Tanpa adanya prioritas yang jelas proses evaluasi atas berhasil tidaknya pendidikan karakter akan menjadi tidak jelas. Ketidakjelasan tujuan dan tatacara evaluasi akan memandulkan program pendidikan karakter di sekolah karena tidak bisa terlihat kemajuan atau kemundurannya.
4.    Praksis Priyoritas
Unsur lain yang sangat penting setelah penentuan prioritas karakter adalah memvverifikasi atas bukti atas bukti dari dilaksanakannya skala prioritas karakter tersebut. Verifikasi dilakukan untuk mendapatkan gambaran apakah siswa tellah mendapatkan kesempatan untuk belajar dari pengalaman dan bukan dari sekedar buku teks saja.
5.    Refleksi, adalah proses dimana kita mencari arti untuk pengalaman pendidikan karakter kita. Karakter yang senantiasa dibentuk sekolah melalui berbagai macam program dan kebijakan senantiasa perlu di evaluasi dan di refleksikan secara berkesinambungan dan kritis. Jadi setelah tindakan dan praksis pendidikan itu terjadi perlu diadakan semacam pendalaman. Refleksi untuk melihat sejauh mana lembaga pendidikan telah berhasil atau gagal dalam melaksanakan pendidikan karakter.
C.      NILAI DASAR DALAM PENDIDIKAN KARAKTER DI SEKOLAH
Pemerintah Indonesia telah merumusan kebijakan dalam rangka pembangunan karakter bangsa. Dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010-2025 ditegaskan bahwa karakter merupakan hasil keterpaduan empat bagian, yakni olah hati, olah pikir, olah raga, serta olah rasa dan karsa. Olah hati terkait dengan perasaan sikap dan keyakinan/keimanan, olah pikir berkenaan dengan proses nalar guna mencari dan menggunakan pengetahuan secara kritis, kreatif, dan inovatif,
olah raga terkait dengan proses persepsi, kesiapan, peniruan, manipulasi, dan penciptaan aktivitas baru disertai sportivitas, serta olah rasa dan karsa berhubungan dengan kemauan dan kreativitas yang tecermin dalam kepedulian, pencitraan, dan penciptaan kebaruan.
Nilai-nilai karakter yang dijiwai oleh sila-sila Pancasila pada masing-masing bagian tersebut, dapat dikemukakan sebagai berikut :
1.      Karakter yang bersumber dari olah hati antara lain beriman dan bertakwa, jujur, amanah, adil, tertib, taat aturan, bertanggung jawab, berempati, berani mengambil resiko, pantang menyerah, rela berkorban, dan berjiwa patriotik
2.      Karakter yang bersumber dari olah pikir antara lain cerdas, kritis, kreatif, inovatif, ingin tahu, produktif, berorientasi Ipteks, dan reflektif
3.      Karakter yang bersumber dari olah raga/kinestetika antara lain bersih, dan sehat,sportif, tangguh, andal, berdaya tahan, bersahabat, kooperatif, determinatif, kompetitif, ceria, dan gigih; dan
4.      Karakter yang bersumber dari olah rasa dan karsa antara lain kemanusiaan, saling menghargai, gotong royong, kebersamaan, ramah, hormat, toleran, nasionalis, peduli, kosmopolit (mendunia), mengutamakan kepentingan umum, cinta tanah air (patriotis), bangga menggunakan bahasa dan produk Indonesia, dinamis, kerja keras, dan beretos kerja.
Dari nilai-nilai karakter di atas, Kementerian Pendidikan Nasional (sekarang: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan) mencanangkan empat nilai karakter utama yang menjadi ujung tombak penerapan karakter di kalangan peserta didik di sekolah, yakni jujur (dari olah hati), cerdas (dari olah pikir), tangguh (dari olah raga), dan peduli (dari olah rasa dan karsa). Dengan demikian, ada banyak nilai karakter yang dapat dikembangkan dan diImplementasi kan dalam pembelajaran di sekolah. Menanamkan semua butir nilai tersebut merupakan tugas yang sangat berat. Oleh karena itu, perlu dipilih nilai-nilai tertentu yang diprioritaskan penanamannya pada peserta didik.
Direktorat Pembinaan SMP Kemdiknas RI mengembangkan nilai-nilai utama yang disarikan dari butir-butir standar kompetensi lulusan (Permendiknas No. 23 tahun 2006) dan dari nilai-nilai utama yang dikembangkan oleh Pusat Kurikulum Depdiknas RI (Pusat Kurikulum Kemdiknas, 2009). Dari kedua sumber tersebut nilai-nilai utama yang harus dicapai dalam pembelajaran di sekolah (institusi pendidikan) di antaranya adalah :[10]
1.       Kereligiusan, yakni pikiran, perkataan, dan tindakan seseorang yang diupayakan selalu berdasarkan pada nilai-nilai Ketuhanan dan/atau ajaran agamanya.
2.       Kejujuran, yakni perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan, baik terhadap diri dan pihak lain.
3.       Kecerdasan, yakni kemampuan seseorang dalam melakukan suatu tugas secara cermat, tepat, dan cepat.
4.       Ketangguhan, yakni sikap dan perilaku pantang menyerah atau tidak pernah putus asa ketika menghadapi berbagai kesulitan dalam melaksanakan kegiatan atau tugas sehingga mampu mengatasi kesulitan tersebut dalam mencapai tujuan.
5.       Kedemokratisan, yakni cara berfikir, bersikap, dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain.
6.       Kepedulian, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah dan memperbaiki penyimpangan dan kerusakan (manusia, alam, dan tatanan) di sekitar dirinya
7.       Kemandirian, yakni sikap dan perilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas.
8.       Berpikir logis, kritis, kreatif, dan inovatif, yakni berpikir dan melakukan sesuatu secara kenyataan atau logika untuk menghasilkan cara atau hasil baru dan termutakhir dari apa yang telah dimiliki.
9.       Keberanian mengambil risiko, yakni kesiapan menerima risiko/akibat yang mungkin timbul dari tindakan nyata.
10.   Berorientasi pada tindakan, yakni kemampuan untuk mewujudkan gagasan menjadi tindakan nyata.
11.   Berjiwa kepemimpinan, yakni kemampuan mengarahkan dan mengajak individu atau kelompok untuk mencapai tujuan dengan berpegang pada asas-asas kepemimpinan berbasis budaya bangsa.
12.   Kerja keras, yakni perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai hambatan guna menyelesaikan tugas (belajar/pekerjaan) dengan sebaik-baiknya.
13.   Tanggung jawab, yakni sikap dan perilaku seseorang untuk melaksanakan tugas dan kewajibannya sebagaimana yang seharusnya dia lakukan, terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial, dan budaya), negara dan Tuhan YME.
14.   Gaya hidup sehat, yakni segala upaya untuk menerapkan kebiasaan yang baik dalam menciptakan hidup yang sehat dan menghindarkan kebiasaan buruk yang dapat mengganggu kesehatan.
15.   Kedisiplinan, yakni tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
16.   Percaya diri, yakni sikap yakin akan kemampuan diri sendiri terhadap pemenuhan tercapainya setiap keinginan dan harapannya.
17.   Keingintahuan, yakni sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar.
18.   Cinta ilmu, yakni cara berpikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap pengetahuan.
19.   Kesadaran akan hak dan kewajiban diri dan orang lain, yakni sikap tahu dan mengerti serta melaksanakan apa yang menjadi milik/hak diri sendiri dan orang lain serta tugas/kewajiban diri sendiri serta orang lain.
20.   Kepatuhan terhadap aturan-aturan sosial, yakni sikap menurut dan taat terhadap aturan-aturan berkenaan dengan masyarakat dan kepentingan umum.
21.   Menghargai karya dan prestasi orang lain, yakni sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
22.   Kesantunan, yakni sifat yang halus dan baik dari sudut pandang tata bahasa maupun tata perilakunya ke semua orang.
23.   Nasionalisme, yakni cara berfikir, bersikap, dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
24.   Menghargai keberagaman, yakni sikap memberikan respek/hormat terhadap berbagai macam hal baik yang berbentuk fisik, sifat, adat, budaya, suku, dan agama.
Dari 24 nilai dasar karakter di atas, guru (pendidik) dapat memilih nilai-nilai karakter tertentu untuk diterapkan pada peserta didik disesuaikan dengan muatan materi dari setiap mata pelajaran (mapel) yang ada. Guru juga dapat mengImplementasi kan karakter dalam setiap proses pembelajaran yang dirancang (skenario pembelajaran) dengan memilih metode yang cocok untuk dikembangkannya karakter peserta didik.

III.     IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN
A.  KOMPONEN YANG TERLIBAT DALAM IMPLEMENTASIAN PENDIDIKAN KARAKTER
Dalam pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, komponen tersabut adalah sebagai berikut :[11]
1.      Isi Kurikulum
Pembinaan karakter termasuk dalam materi yang harus diajarkan dan dikuasai serta direalisasikan oleh peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Pendidikan karakter diImplementasi kan ke dalam mata pelajaran yang suadah ada di samping lewat pembiasaan dalam budaya sekolah. Guru tidak hanya berusaha memenuhi standar kompetensi sebagaimana diamanatkan oleh kurikulum nasional, tetapi juga mengarahkan peserta didik terbiasa memetik nilai-nilai dari pelajaran tersebut.
2.      Proses Pembelajaran Dan Penilaian
Pembelajaran nilai-nilai karakter tidak hanya pada tataran kognitif, tetapi menyentuh pada internalisasi, dan pengamalan nyata dalam kehidupan peserta didik sehari-hari di masyarakat.
3.      Penanganan atau Pengelolaan Mata Pelajaran
Pendidikan karakter dapat diImplementasi kan dalam pembelajaran pada setiap mata pelajaran. Materi pembelajaran yang berkaitan dengan norma atau nilai-nilai pada setiap mata pelajaran perlu dikembangkan, dieksplisitkan, dikaitkan dengan konteks kehidupan sehari-hari.
4.      Pengelolaan Sekolah
Pendidikan karakter di sekolah juga sangat terkait dengan manajemen atau pengelolaan sekolah. Pengelolaan yang dimaksud adalah bagaimana pendidikan karakter direncanakan, dilaksanakan, dan dikendalikan dalam kegiatan-kegiatan pendidikan di sekolah secara memadai. Pengelolaan tersebut antara lain meliputi, nilai-nilai yang perlu ditanamkan, muatan kurikulum, pembelajaran, penilaian, pendidik dan tenaga kependidikan, dan komponen terkait lainnya. Dengan demikian, manajemen sekolah merupakan salah satu media yang efektif dalam pendidikan karakter di sekolah.
5.      Pelaksanaan Aktivitas atau Kegiatan ko-kurikuler
Kegiatan ko-kurikuler yang selama ini diselenggarakan sekolah merupakan salah satu media yang potensial untuk pembinaan karakter dan peningkatan mutu akademik peserta didik. Kegiatan ko-kurikuler merupakan kegiatan membantu pengembangan peserta didik sesuai dengan kebutuhan, potensi, bakat, dan minat mereka melalui kegiatan yang secara khusus diselenggarakan oleh pendidik dan atau tenaga kependidikan yang berkemampuan dan berkewenangan di sekolah. Melalui kegiatan ko-kurikuler diharapkan dapat mengembangkan kemampuan dan rasa tanggung jawab sosial, serta potensi dan prestasi peserta didik.
6.      Pemberdayaan Sarana Prasarana
7.      Pembiayaan
8.      Kualitas Hubungan
9.      Etos Kerja Seluruh Warga dan Lingkungan Sekolah
Etos kerja juga menjadi perhatian utama. Pembinaan etos kerja berkaitan erat dengan daya saing mereka. Artinya mereka berupaya menyiapkan tenaga kerja yang beretos kerja tinggi. Pembinaan etos kerja dibentuk dengan pembiasaan disiplin kerja.
Pendidikan  karakter pada tingkatan institusi mengarah pada pembentukan budaya sekolah, yaitu nilai-nilai yang melandasi perilaku, tradisi, kebiasaan keseharian, dan simbol-simbol yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah, dan masyarakat sekitar sekolah. Budaya sekolah merupakan ciri khas, karakter atau watak, dan citra sekolah tersebut di mata masyarakat luas.
B.  IMPLEMENTASI PENDIDIKAN KARAKTER DALAM PEMBELAJARAN
Sebagaimana uraian teori tentang pendidikan karakter di atas kemudian dari teori tersebut bagaimana implementasinya dalam pembelajaran tentu saja pembelajaran pada semua mata pelajaran. Merespons sejumlah kelemahan dalam pelaksanaan pendidikan akhlak dan budi pekerti (pendidikan karakter), terutama melalui dua mata pelajaran Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, telah diupayakan inovasi pendidikan karakter. Inovasi tersebut adalah :
1.      Pendidikan karakter dilakukan secara terImplementasi  ke dalam semua mata pelajaran. Implementasi  yang dimaksud meliputi pemuatan nilai-nilai ke dalam substansi pada semua mata pelajaran dan pelaksanaan kegiatan pembelajaran yang memfasilitasi dipraktikkannya nilai-nilai dalam setiap aktivitas di dalam dan di luar kelas untuk semua mata pelajaran.
2.      Pendidikan karakter juga diImplementasi kan ke dalam pelaksanaan kegiatan pembinaan peserta didik.
3.      Selain itu, pendidikan karakter dilaksanakan melalui kegiatan pengelolaan semua urusan di sekolah yang melibatkan semua warga sekolah.[12]
Dari ketiga bentuk inovasi di atas yang paling penting dan langsung bersentuhan dengan aktivitas pembelajaran sehari-hari adalah bagaimana Implementasi  pendidikan karakter dalam proses pembelajaran. Implementasi  pendidikan karakter melalui proses pembelajaran semua mata pelajaran di sekolah sekarang menjadi salah satu model yang banyak diterapkan. Model ini ditempuh dengan paradigma bahwa semua guru adalah pendidik karakter (character educator). Semua mata pelajaran juga disasumsikan memiliki misi dalam membentuk karakter mulia para peserta didik .
Di samping model ini, ada juga model lain dalam pendidikan karakter di sekolah, seperti model subject matter dalam bentuk mata pelajaran sendiri, yakni menjadikan pendidikan karakter sebagai mata pelajatan tersendiri sehingga memerlukan adanya rumusan tersendiri mengenai standar isi, standar kompetensi dan kompetensi dasar, silabus, RPP, bahan ajar, strategi pembelajaran, dan penilaiannya di sekolah.  Model ini tidaklah gampang dan akan menambah beban peserta didik yang sudah diberi sekian banyak mata pelajaran. Karena itulah, model implementasi pendidikan karakter dalam mata pelajaran dinilai lebih efektif dan efisien dibanding dengan model subject matter.
Implementasi  pendidikan karakter di dalam proses pembelajaran di sekolah dilaksanakan mulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran pada semua mata pelajaran. Tahap-tahap ini akan diuraikan lebih detail berikut ini.[13]
1.    Tahap Perencanaan
Pada tahap perencanaan yang mula-mula dilakukan adalah analisis SK/KD, pengembangan silabus berkarakter, penyusunan RPP berkarakter, dan penyiapan bahan ajar berkarakter. Analisis SK/KD dilakukan untuk mengidentifikasi nilai-nilai karakter yang secara substansi dapat diImplementasi kan pada SK/KD yang bersangkutan. Perlu dicatat bahwa identifikasi nilai-nilai karakter ini tidak dimaksudkan untuk membatasi nilai-nilai yang dapat dikembangkan pada pembelajaran SK/KD yang bersangkutan. Guru dituntut lebih cermat dalam memunculkan nilai-nilai yang ditargetkan dalam proses pembelajaran. Secara praktis pengembangan silabus dapat dilakukan dengan merevisi silabus yang telah dikembangkan sebelumnya dengan menambah komponen (kolom) karakter tepat di sebelah kanan komponen (kolom) Kompetensi Dasar atau di kolom silabus yang paling kanan. Pada kolom tersebut diisi nilai(-nilai) karakter yang hendak diImplementasi kan dalam pembelajaran. Nilai-nilai yang diisikan tidak hanya terbatas pada nilai-nilai yang telah ditentukan melalui analisis SK/KD, tetapi dapat ditambah dengan nilai-nilai lainnya yang dapat dikembangkan melalui kegiatan pembelajaran (bukan lewat substansi pembelajaran). Setelah itu, kegiatan pembelajaran, indikator pencapaian, dan/atau teknik penilaian, diadaptasi atau dirumuskan ulang dengan penyesuaian terhadap karakter yang hendak dikembangkan. Metode menjadi sangat urgen di sini, karena akan menentukan nilai-nilai karakter apa yang akan ditargetkan dalam proses pembelajaran. Sebagaimana langkah-langkah pengembangan silabus, penyusunan RPP dalam rangka pendidikan karakter yang terImplementasi  dalam pembelajaran juga dilakukan dengan cara merevisi RPP yang telah ada. Revisi RPP dilakukan dengan langkahlangkah :
a.    Rumusan tujuan pembelajaran direvisi/diadaptasi. Revisi/adaptasi tujuan pembelajaran dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu: (1) rumusan tujuan  pembelajaran yang telah ada direvisi hingga satu atau lebih tujuan pembelajaran tidak hanya mengembangkan kemampuan kognitif dan psikomotorik, tetapi juga afektif (karakter), dan (2) ditambah tujuan pembelajaran yang khusus dirumuskan untuk karakter.
b.    Pendekatan/metode pembelajaran diubah (disesuaikan) agar pendekatan/metode yang dipilih selain memfasilitasi peserta didik mencapai pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan, juga mengembangkan karakter.
c.    Langkah-langkah pembelajaran juga direvisi. Kegiatan-kegiatan pembelajaran dalam setiap langkah/tahap pembelajaran (pendahuluan, inti, dan penutup), direvisi atau ditambah agar sebagian atau seluruh kegiatan pembelajaran pada setiap tahapan memfasilitasi peserta didik memperoleh pengetahuan dan keterampilan yang ditargetkan dan mengembangkan karakter. Prinsip-prinsip pendekatan pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning), pembelajaran kooperatif (Cooperatif Learning), dan pembelajaran aktif (misal: PAIKEM/Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, Efektif, dan Menyenangkan) cukup efektif untuk mengembangkan karakter peserta didik.
d.   Bagian penilaian direvisi. Revisi dilakukan dengan cara mengubah dan/atau menambah teknik-teknik penilaian yang telah dirumuskan. Teknik-teknik penilaian dipilih sehingga secara keseluruhan teknik-teknik tersebut mengukur pencapaian peserta didik dalam kompetensi dan karakter. Di antara teknik-teknik penilaian yang dapat dipakai untuk mengetahui perkembangan karakter adalah observasi, Penilaian kinerja, penilaian antar teman, dan penilaian diri sendiri. Nilai karakter sebaiknya tidak dinyatakan secara kuantitatif, tetapi secara kualitatif, misalnya :
o  BT: Belum Terlihat, apabila peserta didik belum memperlihatkan tanda-tanda awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator.
o  MT: Mulai Terlihat, apabila peserta didik sudah mulai memperlihatkan adanya tanda-tanda awal perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator tetapi belum konsisten.
o  MB : Mulai Berkembang, apabila peserta didik sudah memperlihatkan berbagai tanda perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator dan mulai konsisten.
o  MK : Menjadi Kebiasaan atau membudaya, apabila peserta didik terus menerus memperlihatkan perilaku/karakter yang dinyatakan dalam indikator secara konsisten (Dit. PSMP Kemdiknas, 2010).
e.    Bahan ajar disiapkan.
Bahan ajar yang biasanya diambil dari buku ajar (buku teks) perlu disiapkan dengan merevisi atau menambah nilai-nilai karakter ke dalam pembahasan materi yang ada di dalamnya. Buku-buku yang ada selama ini meskipun telah memenuhi sejumlah kriteria kelayakan buku ajar, yaitu kelayakan isi, penyajian, bahasa, dan grafika, akan tetapi materinya masih belum secara memadai mengimplementasi kan pendidikan karakter di dalamnya. Apabila guru sekedar mengikuti atau melaksanakan pembelajaran dengan berpatokan pada kegiatan – kegiatan pembelajaran pada buku-buku tersebut, pendidikan karakter secara memadai belum berjalan. Oleh karena itu, sejalan dengan apa yang telah dirancang pada silabus dan RPP yang berwawasan pendidikan karakter, bahan ajar perlu diadaptasi. Adaptasi yang paling mungkin dilaksanakan oleh guru adalah dengan cara menambah kegiatan pembelajaran yang sekaligus dapat mengembangkan karakter.
2.    Pelaksanaan Pembelajaran
Kegiatan pembelajaran dari tahapan kegiatan pendahuluan, inti, dan penutup dipilih dan dilaksanakan agar peserta didik mempraktikkan nilai-nilai karakter yang ditargetkan. Sebagaimana disebutkan di depan, prinsip-prinsip Contextual Teaching and Learning disarankan diaplikasikan pada semua tahapan pembelajaran karena prinsipprinsip pembelajaran tersebut sekaligus dapat memfasilitasi terinternalisasinya nilai - nilai karakter pada peserta didik. Selain itu, perilaku guru sepanjang proses pembelajaran harus merupakan model pelaksanaan nilai-nilai bagi peserta didik.
Dalam pembelajaran ini guru harus merancang langkah-langkah pembelajaran yang memfasilitasi peserta didik aktif dalam proses mulai dari pendahuluan, inti, hingga penutup. Guru dituntut untuk menguasai berbagai metode, model, atau strategi pembelajaran aktif sehingga langkah-langkah pembelajaran dengan mudah disusun dan dapat dipraktikkan dengan baik dan benar. Dengan proses seperti ini guru juga bisa melakukan pengamatan sekaligus melakukan evaluasi (penilaian) terhadap proses yang terjadi, terutama terhadap karakter peserta didiknya.
3.    Evaluasi Pembelajaran
Evaluasi atau penilaian merupakan bagian yang sangat penting dalam proses pendidikan. Penilaian harus dilakukan dengan baik dan benar. Penilaian tidak hanya menyangkut pencapaian kognitif peserta didik, tetapi juga pencapaian afektif dan psikomorotiknya. Penilaian karakter lebih mementingkan pencapaian afektif dan psikomotorik peserta didik dibandingkan pencapaian kognitifnya.
Pemerintah (Kemdiknas/Kemdikbud) sudah menetapkan Standar Penilaian Pendidikan yang dapat dipedomani oleh guru dalam melakukan penilaian di sekolah, yakni Permendiknas RI Nomor 20 Tahun 2007 tentang Standar Penilaian Pendidikan. Dalam standar ini banyak teknik dan bentuk penilaian yang ditawarkan untuk melakukan penilaian, termauk dalam penilaian karakter. Dalam penilaian karakter, guru hendaknya membuat instrumen penilaian yang dilengkapi dengan rubrik penilaian untuk menghindari penilaian yang subjektif, baik dalam bentuk instrumen penilaian pengamatan (lembar pengamatan) maupun instrumen penilaian skala.

BAB III
PENUTUP
A.      KESIMPULAN
Dari berbagai uraian di atas dapat diambil kesimpulan :
1.    Konsep pendidikan karakter dalam menenamkan nilai – nilai karakter kepada warga sekolah  meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut. Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai “the deliberate use of all dimensions of school life to foster optimal character development”.  Maka dalam konsep pendidikan karakter di sekolah, semua komponen (pemangku pendidikan) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas atau kegiatan ko-kurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan ethos kerja seluruh warga sekolah/lingkungan.
2.    Pendidikan karakter di sekolah dalam penerapannya dengan memperhatikan beberapa hal sebagai pijakan penyelenggaraan pendidikan karakter di sekolah diantaranya :
a.    Prinsip – Prinsip Dasar dalam pendidikan karakter sebagai arahan kemana dan bagaimana seharusnya pendidikan karakter dilksanakan
b.    Metode pendidikan karakter di sekolah, untuk mencapai pendidikan karakter sebagaimana yang telah ditetapkan dalam prinsip dasar maka dibutuhkan metode yang tepat agar pencapaian tujuan semakin terarah dan efektif
c.    Nilai – Nilai dasar dalam pendidikan karakter, dimana nilai dasar sebagaimana yang telah ditetapkan oleh kementrian pendidikan dan kebudayaan merencanakan empat nilai karakter utama yang menjadi ujung tombak penerapan pendidikan karakter di sekolah yakni olah hati, olah pikir, olah raga serta olah rasa dan karsa.
3.    Implementasi pendidikan karakter dalam pembelajaran harus melibatkan semua komponen (stakeholders) di lingkungan sekolah mulai dari kurikulum, proses pembelajaran, penanganan dan pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, dan sebagainya menjadi sebuah budaya sekolah sehinggan melandasi nilai – nilai perilaku, kebiasaan keseharian, simbul – simbul yang dipraktikkan oleh semua warga sekolah sehingga pada akhirnya membentuk suatu karakter yang baik. Selain itu dalam implementasi pendidikan karakter pada proses pembelajaran juga dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi pembelajaran. 
B.       KRITIK DAN SARAN
Demikian Paper yang kami sampaikan penulis menyadari dengan sepenuhnya bahwa jauh dari kesempurnaan untuk itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca selalu kami harapkan demi sebuah perbaikan ke arah yang lebih baik. Akhirnya semoga paper ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya.
















DAFTAR PUSTAKA

Alistambuli, Mahmud  Kaifa Nurabby Ath Faluna, Diterjemahkan Oleh Muhammad Arifin Altus Jakarta : PT Mizan, 2006.
Fajri, Em Zul, dan Ratu Aprilia Senja, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, Jakarta : Difa Publiser, 2003.
Koesoema, Doni Pendidikan Karakter ; Strategi Mendidik Anak Di Zaman Global Jakarta : Grasindo, 2007.
Muchlas, Samani Muchlas dan Hariyanto, Konsep dan Model Pendidikan Karakter, Bandung : PT Remaja Rosda Karya,







1 comment: