BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu lembaga
sosial tertua yang selalu mengalami dampak perubahan- perubahan di dalam
masyarakat. Dengan adanya perkembangan sistem komunikasi dan informasi akhir-
akhir ini, perkembangan ilmu pengetahuan
dan teknologi memberikan pengaruh yang menyebar ke seluruh dunia.
Perkembangan teknologi menunjukkan
dampak yang lebih besar terhadap keadaan masyarakat secara keseluruhan. Jika
konsep- konsep baru pada bidang ilmu pengetahuan itu diimbangi oleh
pengembangan teknologi tepat guna serta penanaman nilai-nilai profetis, yang bermanfaat dan dapat
diterapkan dalam kehidupan manusia, maka dapat dipastikan bahwa perkembangan ilmu
pengetahuan itu akan mempunyai dampak yang signifikan dengan dunia pendidikan.
Pembangunan dengan paradigma ideologi-
ideologi modern yang menjanjikan kemajuan
yang menggiurkan dalam ilmu dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi.
Namun di balik itu, muncul realitas- realitas yang menggerogoti martabat
manusia, adanya pergeseran nilai, ekslusivisme-
radikal berkedok agama dan penyimpangan perilaku keagamaan, sehingga lahir apa
yang disebut “nestapa manusia modern” yang hidup serba dilematis, hipokrit dan materialistik.[1]
Filusuf Post modern Jean Baudrillard
menyatakan bahwa dunia yang dilanda demam globalisasi berimplikasi pada pergeseran
nilai. Era ini ditandai dengan mencairnya batas- batas normatif sehingga apa
yang dinamakan “tabu” atau sakral menjadi semakin hilang, semua persoalan dan
informasi menjadi ranah publik yang bebas diperbincangkan dan dikonsumsi secara
umum. Persoalan yang dalam perspektif sosial keagamaan masuk kedalam wilayah
tabu dan sakral, saat ini terdekonstruksi secara massif. Manusia dilihat hanya sebagai simbolisasi angka- angka
statistik demografis yang dipandang dan dihadirkan tanpa perasaan dan hati
nurani. Jiwa manusia direduksi sedemikian rupa bagaikan sosok- sosok robot
mekanis yang tunduk (deterministik)
pada kekuatan pasar, mesin industri dan mekanisme birokrasi.[2]
Dewasa ini peran agama seringkali
kita jumpai hanya sebagai sesuatu yang
dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, agama bukan untuk tuntunan kehidupan, agama hanya something to use but not to live. Tidak
dapat diingkari, saat ini justru nilai-
nilai keagamaan-lah yang mengalami erosi, pengikisan yang paling dahsyat,
penghargaan atas kebebasan beragama terdistorsi oleh maraknya
eklusivisme-radikal yang kian massif,
pola hidup konsumtif yang sebenarnya ditolak oleh agama manapun justru kian
hari kian berkembang, tanpa diimbangi oleh kemampuan yang cukup untuk
meningkatkan produktifitas kerja kita, sehingga semakin mendorong dan meluasnya
budaya korupsi. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling
dari dirinya sendiri. Agama hanya digunakan untuk menunjang motif- motif lain;
kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri.
Gordon W. Allport menyatakan cara
beragama seperti sebagai cara beragama yang ekstrinsik dan erat kaitannya
dengan penyakit mental.[3]
Agama sejatinya menjadi landasan spiritual, etik bagi kehidupan manusia dalam
dunia modern ini. Daniel Bell seorang sosiolog mengatakan kalau agama dituntut
untuk memberikan jawaban secara matematis dan praktis jelas tidak bisa, namun
agama mempunyai kemampuan responsi secara
moral terhadap persoalan- persoalan modern dewasa ini.[4]
Thomas Merton, dalam bukunya Mysticism in the Nuclear Age, berkata :
“ Anda tidak dapat mendatangkan kedamaian
tanpa disertai amal saleh. Anda tidak dapat memperoleh tatanan sosial tanpa
kehadiran kaum mistik, orang- orang suci dan nabi- nabi”.[5]
Pendapat Merton diatas menunjukkan bahwa
dalam beragama dituntut -hadirnya- perilaku yang sesuai dengan nilai- nilai
ajaran agama. Sungguh mustahil agama hadir tanpa wujud, tanpa adanya moralitas
perbuatan, hal ini karena agama dan perbuatan bagaikan satu kesatuan yang utuh,
saling berkaitan dalam kehidupan beragama manusia. Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha
menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu
secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian
dicari solusinya dan pendidikan merupakan upaya untuk memberikan panduan dan
memandu manusia dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik bermartabat dan
bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya.
Pendidikan adalah suatu
aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan
seumur hidup. Dengan kata lain,
pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di
luar kelas. Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk
membina kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan
kebudayaan.
Pendidikan sebagai upaya untuk
memberikan solusi perkembangan dan perubahan kemanusiaan secara dinamik dan
gradual berkaitan erat dengan sekolah utamanya
sekolah formal. Sekolah sebagai proses pengembangan kepribadian peserta didik berusaha memberikan bantuan kepada peserta
didik untuk mengembangkan dirinya secara utuh berdasarkan kasih. Sekolah berdiri diantara
peserta didik dan Tuhan yang memberinya tanggungjawab. Sekolah dengan berbagai upaya dan seluruh elemen sekolah yang terus- menerus membimbing, memproses dan
mengantarkan peserta didik kearah pengenalan akan ciptaan Tuhan dengan segala
hukum- hukumNya.
Dalam Pasal I UU
Sisdiknas Tahun 2003 disebutkan bahwa di antara tujuan pendidikan
nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan,
kepribadian dan akhlak mulia. Dengan demikian pendidikan tidak hanya membentuk
insan cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter kuat dan berakhlak
mulia yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Fungsi utama
pendidikan bila ditinjau dari sudut pandang sosiologi dan antropologi adalah
untuk menumbuhkan kriativitas peserta didik, dan menanamkan nilai yang baik.
Menurut pandangan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.[6]
Tujuan Pendidikan di Indonesia
dituangkan dalam Tujuan Pendidikan Nasional yang diidealisasikan sebagaimana
termuat dalam UU-RI No.2 Tahun 1989, Pasal 4, di mana,”Pendidikan Nasional
bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia
seutuhnya,yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa
dan berbudi pekerti luhur,memiliki pengetahuan dan ketrampilan,kepribadian yang
mantap dan mandiri,serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.[7]
Jika idealisasi itu menjelma dalam
realita, maka arus siswa akan memasuki pendidikan per-jenjang, dan tatkala
mereka lulus, mereka akan menjadi modal utama lahirnya Sumber Daya Manusia yang
terampil, duduk pada jajaran terdepan, memiliki moralitas tertinggi. Dan
tatkala mereka duduk dalam jajaran birokrasi pada tingkat manapun, komitmen
moral yang dimiliki makin kokoh dengan diikat sumpah jabatan.
Disaat
gelombang arus modernisasi menerpa
pada peserta didik maka sekolah sebagai ujung tombak pendidikan, kerap kali
melakukan hal-hal yang jelas-jelas tidak
mencermikan pendidikan dan juga banyak sekali guru sebagai ujung tombak
pendidikan melanggar
sumpah jabatanya. Maka tak ayal lagi, efek moral yang ditimbulkanya,akan
menjadi bumerang bagi peserta didik.
Para ahli pendidikan Islam telah sepakat
bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak peserta
didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya
ialah mendidik ahlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan kesopanan yang tinggi,
mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan
jujur. Oleh karena itu semua pendidik hendaklah memperhatikan ahlak keagamaan
sebelum yang lain-lainya. Karena ahlak keagamaan adalah ahlak yang tertinggi,
sedang ahlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.
Namun fakta dilapangan menununjukan
fenomena yang lain, dimana sekolah yang
semestinya mengembangkan potensi setiap peserta didik akan tetapi, kerap
sekali sekolah lewat lingkungan dan pergaulan memberikan
contoh-contoh yang kurang baik pada peserta didik, apakah itu disengaja ataupun
tidak disengaja, baik berupa ucapan tindakan ataupun tingkah laku yang terbangun dalam lingkungan sekolah mulai dari
kepala sekolah, guru, karyawan, dan seluruh pihak yang terlibat di suatu
sekolah.
Sebagai pelaku kedua setelah pendidikan keluarga, maka
sekolah seharusnya menyadari
apa yang harus dilakukan sehubungan dengan tugas dan kewajibanya. Namun banyak
sekali sekolah (seluruh elemen sekolah) yang
tidak memahami tugasnya. Bahkan sebagai pelaku utama ada sebagian guru
yang berasumsi tugas mendidik perilaku keagamaan itu hanya dibebankan pada guru
agama saja. Paradigma tujuan diatas menyebabkan guru
mengira bahwa pendidikan searti dengan pengajaran yang tujuanya memperoleh ilmu
pengetahuan, atau lulus ujian. Sehingga sekolah
hanya berusaha semaksimal mungkin mentrasfer
ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada peserta didik dan memenuhkan
ingatanya dengan intisari pelajaran. Sehingga nantinya memungkinkan mencapai
kesuksesan dalam ujian. Pengertian lebih sempit dari itu ialah intinya ilmu itu
dapat dipergunakan apa saja, sehingga
ilmu itu akan bisa membahayakan bagi siapa saja.[8]
Pola pembelajaran yang cenderung
berporos pada pengembangan superioritas
tunggal (memacu prestasi belajar akademik) adalah salah satu kerancuan praksis
pendidikan. Hal ini ditandai dengan sistim pembelajaran yang tidak
terindividualisasikan, praksis pragmatis pendidikan dengan mengejar skor
melalui latihan, komunikasi guru murid cenderung satu arah, dan
pengorganisasian pembelajaran cenderung hanya mempermudah kerja di lingkungan sekolah
dan sebagainya.
Asumsi dasarnya adalah makin tinggi
intensitas otak intelektual, makin tinggi pula keberhasilan pendidikan. Bentuk
riilnya seperti pelatihan mengerjakan soal, kegiatan bimbingan belajar, les
prifat, dan lain-lain yang memoros pada sekedar tahu apa yang dipelajari.
Ahirnya muncul anak-anak dan generasi muda yang cerdas, namun tidak
disertai dengan optimalisasi otak
secara spiritual dan emosional (sosial)
Optimalisasi otak emosional itu antara
lain diperoleh melalui pendidikan budi pekerti /ahlak, dan pembangkitan
sifat-sifat humanitas dan pemanusiaan pada umumnya. Fenomena kekerasan,
perkelaihan pelajar, perbuatan asusila dan sebagainya yang menggejala ahir-ahir
ini merupakan bukti nyata kegagalan asah otak emosional, karena itu justru
dilakukan oleh mayoritas orang-orang yang tengah atau telah menempuh pendidikan
tertentu.
Dr.Daniel Goleman Dalam bukunya yang
berjudul Emotional Intelegence, salah satu buku terlaris di
Amerika Serikat bahkan di dunia ketika baru diterbitkan, telah mematahkan mitos
otak kecerdasan, dengan sebuah teses mereka
bahwa’’otak kecerdasan (IQ) itu kurang bermanfaat secara signifikan
dalam kehidupan tanpa kehadiran otak emosional (EQ), terutama dalam proses
interaksi dengan teman sejawat dan pekerjaan. Paradigma dasarnya adalah: bahwa
manusia berkualitas tinggi adalah mereka yang cerdas penalaran dan cerdas
emosional. Bahkan Daniel Goleman mengestimasi bahwa sukses tidaknya seorang
menjalani proses kemanusiaan, 80 persen disebabkan oleh EQ, dan IQ hanya 20
persen. Meski Goleman sendiri mengakui bahwa untuk jenis pekerjaan tertentu,
hanya pekerja dengan IQ, tertentulah yang emosionalnya dapat berkembang.[9]
Pendapat Daniel Goleman tersebut kiranya
bisa kita terima, mengingat tugas uatama pendidikan
disekolah adalah mengoptimalkan seluruh kemampuan peserta didik.
Ilmu pengetahuan saja tidak cukup tanpa ahklak. Maka dalam pendidikan Islam
ahlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam.Tanpa ahlak sehabat apaun ilmu yang
dimiliki, tidak akan pernah berguna dan bermanfaat untuk kehidupan.
Proses
pendidikan harus melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling),
dan tindakan (action). Tiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang
bersinergi secara utuh. Jika salah satu tidak ada maka pendidikan tidak akan
berjalan secara efektif. Dari proses kesadaran seseorang mengetahui tentang
nilai-nilai yang baik (knowing the good), lalu merasakan dan mencintai
kebaikan (feeling and loving the good) itu sehingga terpatri dalam jiwanya
yang akhirnya menjadi berkakter kuat untuk melakukan kebaikan.
Feeling and
loving the good, yakni
bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi power yang bisa
membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Hakikat loving
pasti mengandung unsur pengorbanan dan keikhlasan. Sehingga tumbuh kesadaran
bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku
kebajikan itu. Dari dua aspek kesadaran mengetahui dan mencintai nilai-nilai
kebenaran itu, seseorang akan ringan melakukan hal-hal yang baik dalam prilaku
sehari-hari. Tiga proses tersebut secara terus menerus dilakukan dan dialami,
sehingga menjadi endapan-endapan pengalaman. Dari endapan-endapan pengalaman
itu berubah menjadi kebiasaan dan karenanya menjadi karakter yang kuat dan
positif.
Menurut Abdullah
Munir berpendapat bahwa kebiasan yang dilakukan secara berulang-ulang yang
didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi sebuah karakter seseorang,
gen hanya menjadi salah satu faktor saja. Dalam kehidupan modern seperti
sekarang ini, produk pendidikan sering hanya diukur dari perubahan
eksternal yaitu kemajuan fisik dan material yang dapat meningkatkan
pemuasan kebutuhan manusia. Produk pendidikan dapat menghasilkan manusia yang
cerdas dan terampil untuk melakukan pekerjaannya, tetapi tidak memiliki
kepedulian dan perasaan terhadap sesama manusia. Ilmu pengetahuan yang
dikembangkan menjadi instrumen kekuasaan dan kesombongan untuk memperdaya
orang lain, kecerdikan digunakan untuk menipu dan menindas orang lain, produk
pendidikan menghasilkan manusia serakah dan egois.
Distorsi nilai-nilai rohaniyah begitu nampak terlihat, seolah-olah nilai kemanusiaan
telah mati, alat-alat diubah menjadi tujuan, produksi dan konsumsi
barang-barang menjadi tujuan hidup, banyak manusia yang tidak tergetar hatinya
ketika disebut nama Tuhan, tidak merasa takut dengan ancaman Tuhan, padahal
sesungguhnya sebuah pendidikan harus dapat menghidupkan nuansa spiritual
manusia, menumbuhkan nilai kemanusiaan dan ketuhanan dalam batinnya, di samping
mengembangkan manajerial untuk memenuhi kebutuhan obyektifnya.
Ketidakberhasilan
tertanamnya nilai-nilai rohaniah (keimanan dan ketaqwaan) terhadap perserta
didik dewasa ini sangat terkait dengan dua faktor penting dalam proses
pembelajaran di samping banyaknya faktor-faktor yang lain, kedua faktor
tersebut adalah strategi dan metode pembelajaran serta orang yang
menyampaikan pesan ilahiyah dari
seorang pendidik.
Strategi pendidikan yang komprehensif,
sistematis, aktual dan kontekstual perlu
diupayakan, terlebih strategi untuk mempersiapkan guru sebagai media
transformasi pembelajaran perlu diberdayakan pada bidang kompetensi akademik,
kecakapan, profesionalisme dan pemahaman cara beragama serta kemampuan
analisa-kritis- kontekstual sehingga apa
yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan Nasional dapat tercapai.
Selain itu pendidikan sejati
merupakan proses pembentukan moral beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah
kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal. Sekolah
sebagai ujung tombak proses pemanusiaan dan
kemanusiaan telah diterima sepanjang sejarah dan peradaban mestinya tidak hanya tercermin dalam mentrasfer keilmuan. Namun lebih dari
itu Sekolah adalah salah satu bagaian
yang fundamental dalam pendidikan maka harus mengoptimalkan segala kemampuan
peserta didik sehingga peserta didik tidak hanya pandai dalam aspek intelektual
tetapi juga matang secara spiritual dan sosial
Sebagai pelaku Utama pendidikan
di sekolah Seorang guru /pendidik harus dapat
menanamkan ahlak yang baik kepada para peserta didik. Penanaman ahlaqul karimah ini harus dimulai dari
dirinya sendiri dulu. Karena melalui contoh dan ketauladanan guru siswa akan
meniru dan mempraktekan ahlakul karimah
dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian guru harus melatih dan mendidik para
siswanya dengan pendidikan kejiwaan sehingga ahlak itu akan menjadi kebiasaan
yang tertanam dalam jiwa mereka yang tidak akan terpisahkan dari kehidupan
mereka.
Dari uraian
diatas apabila dikaitkan dengan pengamatan peneliti, ternyata selama ini ada banyak sekali sekolah – sekolat yang hanya sekedar formalitas
dan mentrasfer keilmuan semata tanpa mengembangkan seluruh aspek yang ada dalam
jiwa peserta didik. Selain itu dari beberapa hal yang peneliti
amati diantaranya, sering kali
disekolah terjadinya kekerasan fisik yang
dilakukan oleh oknum guru terhadap siswanya, sikap guru yang kurang menghargai
muridnya, mengeluarkan kata-kata kotor yang tidak senonoh kepada siawa,
menghukum siswa yang telat dengan porsi hukuman yang tidak sebanding dengan
kesalahanya, dan masih banyak lagi contoh-contoh perilaku di sekolah yang tidak mendidik.
Keadaan diperparah dalam pola
pembalajaran yang cenderung satu arah, tidak mau menerima kritikan murid,
datang dan masuk kelas pembukaan dan penutupan, nongkrong di depan kelas saat
mengajar, asik ngobrol dengan temanya saat mengajar, dan lain-lain.
Fenomena-fenomena tersebut diatas seringkali peneliti temukan di beberapa sekolah baik negeri maupun swasta.
SMPN 1 Jatipurno wonogiri
sebagai salah satu lembaga pendidikan menengah dengan label SSN mestinya
berbeda dan mempunyai cara – cara tertentu untuk mengembangkan seluruh aspek
peserta didik melalui wadah sekolah mulai dari kepala sekolah, Guru, karyawan
sampai pada pesuruh dan tentunya seluruh pihak yang terlibat dalam sekolah
Dari latar belakang tersebut diatas
maka peneliti ingin meneliti tentang ”Peran Sekolah
Dalam Menanamkan Akhlaqul Karimah Dan
Kecerdasan Intelektual, Spiritual, dan Emosional Pada Guru
dan Siswa Di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri
- Rumusan Masalah
Untuk membatasi
permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini serta mempermudah analisis yang
dilakukan maka dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :
1.
Bagaimanakah
peran sekolah dalam
menanamkan ahlaqul karimah pada guru dan Siswa
di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri ?
2.
Bagaimanakah upaya
Sekolah dalam
menanamkan kecerdasan Intelektual,
spiritual dan Emosional pada Guru dan
siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri ?
3.
Adakah peran
Sekolah dalam
menanamkan ahlaqul karimah dan
kecerdasan Intelektual,
spiritual dan Emosional pada Guru dan Siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri?
- Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini
bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang peran sekolah dalam menanamkan ahlaqul karimah dan kecerdasan Intelektual,
spiritual dan Emosional Guru
dan Siswa di SMPN
1 Jatipurno Wonogiri. Secara khusus penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui :
1.
Seberapa jauh
peran sekolah dalam
menanamkan akhlaqul karimah pada guru
dan siswa SMPN 1 Jatipurno Wonogiri.
2.
Upaya-upaya
yang dilakukan Sekolah dalam menanamkan kecerdasan
Intelektual, spiritual dan Emosional
pada Guru dan Siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri
3.
Peran dan partisipasi sekolah dalam menanamkan akhlaqul karimah dan kecerdasan Intelektual,
spiritual dan Emosional pada Guru dan Siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri
- Manfaat Penelitian
Sedang
kegunaan dari dari penelitian ini
diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya :
1.
Bagi pihak sekolah, sebagai upaya dalam memberikan
pemahaman dan pengembangan dalam
pendidikan terhadap Guru dan siswa,
memberikan pemahaman agar tidak terjadi salah paham yang berkaitan dengan
permasalahan yang disebabkan karena perilaku (akhlak) baik guru maupun siswa dan kondisi
penanaman kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional Guru dan siswa.
Pembentukan budaya akhlaqul karimah secara intens oleh diri dan sekolah merupakan
media tumbuh dan berkembangnya kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional yang ideal pada kesadaran beragama baik
bagi guru maupun siswa. Diharapkan nantinya penelitian ini dapat dijadikan acuan
dan panduan untuk menciptakan kultur
kesadaran beragama, kerjasama (cooperative) dan spirit untuk saling
tolong menolong diantara siswa, guru dan
sekolah dalam mewujudkan lingkungan pendidikan yang ideal.
2.
Bagi pengembangan ilmu, merupakan upaya pengembangan mutu
kualitas pendidikan dan pola, teknik
pengajaran guru pada umumnya dalam membangun kesadaran beragama pada Guru dan siswa.
Pemahaman konsep akan pentingnya menumbuhkan semangat berakhlaqul karimah dan
kecerdasan emosional dengan baik adalah sebagai
upaya menciptakan ide- ide, gagasan- gagasan ideal pada proses mewujudkan kesadaran beragama siswa sehingga proses input – proses – output pendidikan
di sekolah agar dapat terealisasikan dengan baik.
3.
Bagi peneliti, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat
memberikan pengertian dan pemahaman baru tentang jalinan sinergis,
interaksi antara akhlaqul karimah dengan kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional yang terjadi pada Guru
dan siswa sebagai upaya untuk
menciptakan kesadaran beragama dan juga sebagai
upaya untuk menciptakan lingkungan
pembelajaran yang kondusif di lingkungan sekolah . Selain itu merupakan upaya untuk menjawab dan
mengungkap keingintahuan (curiousity)
bagi peneliti tentang bagaimana peranan
sekolah dalam menanamkan akhlaqul karimah dan kecerdasan intelektual, spiritual
dan emosional baik bagi guru maupun peserta didik yang terjadi
di SMPN 1 Jatipurno.
- Sistimatika Pembahasan.
Untuk menyajikan
bahasan ini secara sistematis, maka penelitian ini dibagi menjadi lima bab.
Secara berurutan dibahas pendahuluan, landasan teori, metode penelitian, hasil
penelitian serta kesimpulan dan saran.
Bab I Pendahuluan. Berisi tentang latar
belakang masalah,rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan
sistematika pembahasan.
Bab II Landasan Teori yang berisi, Sekolah dan peranannya dalam pendidikan, konsep
tentang akhlak, kedudukan ahlak dan
konsep tentang kecerdasan intelektual,
spiritual dan emosional
Bab III Metodologi Penelitian,
berisi tengang jenis penelitian, waktu dan tempat penelitian, fokus penelitian,
tehnik pengumpulan data dan tehnik analisa data.
Bab IV, Hasil penelitian yang berisi
tentang data umum penelitian tentang SMPN
1 Jatipurno wonogiri .
Data Khusus tentang peranan sekolah
dalam menanamkan akhlaqul karimah dan
kecerdasan Intelektual, Spiritual dan emosional
pada guru dan siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri
Bab V, berisi kesimpulan dan saran,
Bagian ini merupakan akhir dari sebuah tesis.
[1] Erich Fromm, Psychoanalysis and Religion (Yale
University Press, 1972), 39
[2] As’aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual (Jogjakarta:
Ar-Ruzz Media, 2001), 38
[3] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar (Jakarta:
Penerbit Mizan, 2004), 46
[4] Abdul Jalil Isa, Ijtihad
Rasul SAW, terjemahan M. Masyhur Amin (Bandung: PT. Al- Maarif, 1980), 59
[5] Rahmat., op.cit., 27
[7] Prof.Dr.Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistim Pendidikan,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 63.
[8] Dr.M.Miftahul Ulum, M.Ag, Pengantar Ilmu Pendikan Islam
(Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), 47
[9] Prof.Dr.Sudarwan Danim, opcit.hal 135-136
0 komentar:
Post a Comment