BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam
catatan sejarah, umat Islam dari abad permulaan hingga sekarang telah muncul banyak golongan yang
i’tiqad dan fahamnya berbeda-beda bahkan bertentangan secara tajam antara satu
dengan yang lain. Hal ini telah menjadi fakta yang tidak dapat di bantah lagi,
karena hal yang serupa itu sudah terjadi pula pada periode atau zaman
Rasulullah dan periode setelah beliau wafat. Tidak menutup kemungkinan Tuhan
menjadikan semua itu sesuai dengan hikmah-hikmah yang hanya Allah yang mengetahui. Golongan-golongan tersebut
diantaranya yaitu, Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadiriyyah, Jabariyyah, wahabiyah,
Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Sunny) yaitu firqah jumhur umat Islam yang banyak di
dunia ini[1].
Banyaknya
golongan yang muncul dipicu dengan adanya kepentingan masing-masing golongan
yang tidak sepaham dengan golongan lain. Sehingga ada usaha untuk saling
menyalahkan, bahkan yang lebih ekstrim lagi saling mengkafirkan antara golongan
satu dengan golongan lain. Perbedaan paham antar golongan sangatlah sulit untuk
dipersatukan. Hal ini sudah menjadi fakta sejarah yang sulit untuk bisa diubah lagi, dan sudah menjadi salah satu
khasanah keilmuan dalam agama. Sehingga tidak lagi heran melihat dan mencermati
hal ini, karena nabi Muhammad SAW sendiri telah mengabarkan pada masa hidup
beliau dalam hadistnya yang berbunyi :
افترقت اليهود على إحدى
وسبعين فرقة وافترقت النّصارى ثنتين وسبعين فرقة وإنّ امّتي ستفترق على ثلاث
وثبعين فرقة كلّها فى النّار إلّاواحدة وهي الجما عة
“Telah
terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh
(golongan) dan telah terpecah
orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh
dan
sesungguhnya umatku akan terpecah
menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah
Al-Jama’ah”[2].
Permasalahannya
siapa, dan bagaimana orang yang berada pada apa yang aku dan para
sahabatku berada di atasnya (aljama’ah), sebagaimana hadist Nabi tersebut
karena pada saat ini semua golongan entah itu paham Ke Islaman, Organisasi
keagamaan dan Paham – paham yang muncul, mengaku dirinyalah ahlusunnah dan yang
paling benar dari yang lainnya sehingga tidak jarang memunculkan berbagai
perpecahan dalam Islam karena perbedaan
cara beribadah, cara berpakaian dan sebagainya sehingga hal ini secara tidak
langsung akan mengurangi persatuan dan kesatuan umat Islam itu sendiri.
Padahal Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya,
batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian
tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara
mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah
(Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr
(cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu
generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi
situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya
sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas
sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.
Terlepas dari apakah Ahlussunah
Waljama’ah itu sebuah Organisasi, Sebuah madzhab, organisasi Politik atau yang
lainnya sedangkan kalau di Indonesia terlepas dari NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah
dan lain sebagainya pada makalah kali ini penulis akan mencoba memahami
Ahlussunnah Waljama’ah dalam persepektif historis dan Akidah
B. Rumusan Masalah
Setelah memperhatikan
permasahan di atas agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah
ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1. Bagaimana
latar belakang munculnya faham ahlu
sunnah waljama’ah ?
2.
Bagaimana konsep
dasar aqidah ahlu sunnah waljama’ah ?
BAB
II
AHLUS SUNNAH WAL
JAMA'AH
A. Latar Belakang munculnya faham Ahlus sunnah
waljama’ah
Sebelum membahas
lebih jauh tentang paham ASWAJA terlebih
dahulu penulis jelaskan tentang pengertian faham Ahlus sunnah waljama’ah. ASWAJA adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah
waljamaah”, Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah
Nabi Muhammad SAW, dan waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas
sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “
Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa
ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan
tasawuf”. Para ulama besar ahli hadist,
fiqih, aqidah dan tasawuf berpendapat bahwa ahlus sunnah waljama’ah adalah
golongan umat Islam yang selalu berpegang teguh pada kitab Allah (Al – Qur’an)
dan sunah Rasul (Al – Hadist) serta para sahabat Nabi SAW. [3]
Istilah
ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa
pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman
pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk
pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur
(137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya
dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak
ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Pada zamannya,
al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada
al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat
dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga
kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition),
yaitu ujian akidah terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di
ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah, al-quran adalah makhluk
(diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim ( ada sejak awal dari segala
permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat
bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang
tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik, al-Ma’mun melakukan
mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam
Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin
popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu
Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan
Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran
muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori
Asy’ariyah lebih mendahulukan naql ( teks qur’an hadits)
daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah
waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham Asy’ariyah
atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah
dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij, dan aliran-aliran
lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang
teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas
aliran ini, baik dibidang fiqih dan tasawuf. sehingga menjadi istilah,
jika disebut akidah sunni (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud
adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni, yaitu pengikut
madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali). Yang menggunakan
rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga Tasawuf
Sunni, yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul
Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid
al-Baghdadi yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifat [4].
B.
Konsep Dasar Aqidah faham Ahlus sunnah
waljama’ah
Dalam agama Islam seakan melekat dan
harus ada paling tidak tiga istilah yaitu Iman, Islam, dan Ihsan maka, faham
Ahlus sunnah waljama’ah juga meliputi tiga bidang, yaitu :
1. Aqidah
Islamiyah yang meliputi persoalan yang harus diimani oleh setiap muslim
2. Fiqih
, yaitu hukum – hukum yang berkenaan dengan syari’at Islam
3. Tasawuf,
meliputi seluruh masalah tentang tata cara berakhlaq dan berbudi pekerti yang
luhur menurut ajaran Islam
Sedangkan
tokoh-tokoh dari ke-tiga unsur tersebut, golongan Ahlus sunnah waljama’ah memiliki Imam
masing-masing sesuai dengan bidangnya, antara lain:
a. 'Aqidah
Islamiyah' mengikuti faham atau aliran yang dirumuskan oleh Imam Abu Hasan Al
Asya'ari dan Iman Abu Mansur Al Maturidi dari aqidah-aqidah Islamiyah yang
telah ada sebelumnya.
b. Fiqih,
mengikuti salah satu madzhab empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hambali
c. Tasawwuf,
mengikuti thariqat dari Imam Abul Qasim Al Junaidi Al Baghdadi
d. Hadist,
mengikuti Imam Bukhari, Muslim serta kawan-kawannya
I'itiqad Nabi dan para Shahabat itu
telah termaktub dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum
tersusun secara rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan
secara rapi oleh seorang ulama ushuluddin yang besar, yaitu Syeikh Abu Hasan
Ali al Asy'ari (lahir di Basrah) tahun
260 H. – wafat di Basrah juga pada tahun 324 H. dalam usia 64 tahun) [5].
Tokoh yang kedua yaitu Iman Abu Mansur
Al Maturidi dengan nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Mahmud beliau adalah
ulama ushuluddin juga, dan dianggap sebagai pembangun Madzhab As-sunnah
WalJama'ah, yang faham I'itiqadnya sama atau hampir sama dengan Abu Hasan al Asy'ari.
Beliau lahir di sebuah desa di Samarqand Maturidi dan wafat di Maturidi juga
pada tahun 333 H. ada yang mengatakan terkemudian 9 tahun ada juga yang mengatakan
10 tahun dari Imam Abu Hasan al Asy'ari [6].
Unsur pokok aqidah islam, golongan
ASWAJA meliputi :
1. Masalah
ke-Tuhan-an
2. Masalah
Malaikat
3. Masalah
Kitab-kitab Suci
4. Masalah
Rasul-rasul
5. Masalah
Hari Akhir
6. Masalah
Qodla dan Qadar [7].
Mengenai masalah ke-tuhan-an, golongan ahlus
sunnah wal jama'ah berkeyakinan dengan terperinci bahwa Allah Ta'ala itu :
a. Wajib
wujud (ada-Nya, mustahil 'Adam)
b. Wajib
qidam (sedia tanpa permulaan), mustahil hudust (keadaan-Nya didahului oleh
ketiadaan)
c. Wajib
baqa' (kekal tanpa kesudahan), mustahil fana' (rusak)
d. Wajib
mukhalafah lil hawadist (berbeda dengan selain-Nya).
e. Wajib
qiyamuhu binafsihi (berdiri dengan pribadi-Nya), mustahil membutuhkan pada
selain- Nya
f. Wajib
wahdaniyah (esa) dalam dzat-Nya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya, mustahi ta'adud
(terbilang) dalam dzat-Nya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya.
g. Wajib
Maha kuasa (qadiran), mustahil lemah ('Ajizan).
h. Wajib
Maha berkehendak (Muridan), mustahil terpaksa (Kahiran)
i. Wajib
Maha mengetahui ('Aliman), mustahil bodoh (Jahilan)
j. Wajib
Maha hidup (Hayyan), mustahil mati (Mayyitan).
k. Wajib
Maha mendengar (Sami'an), mustahl tuli (Assamman)
l. Wajib
Maha melihat (Basyiran), mustahil buta ( A'ma)
m. Wajib
Maha berbicara ( Mutakallaiman), mustahil bisu (Abkaman).
Sedangkan secara global, golongan Ahlus
Sunnah Wal Jama'ah berkeyakianan bawa Allah S.W.T. memiliki semua sifat
kesempurnaan yang tidak terbatas dan
disucikan dari semua sifat kekurangan. Boleh dikatakan bahwa tuhan
mempunyai sekalian sifat Jamal (Keindahan) sifat Jalal (Kebesaran) sifat Kamal
(Kesempurnaan) [8].
Mengenai masalah malaikat, bahwa
malaikat diimani sebagai makhluk halus yang diciptakan dari cahaya. Ada 10
malaikat yang wajib diimani oleh setiap muslim yaitu Jibril, Mika'il, Israfil,
Izra'il, Munka, Nakir, Rakib, Atid, Malik, Ridwan.
Mengenai masalah kitab-kitab suci, diyakini
bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab suci kepada para Rasul-Nya. Ada 4
kitab yang wajib diimani oleh setiap muslim yaitu: Kitab Taurat yang diturunkan
kepada Nabi Musa as, Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud , Kitab
Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa , Kitab Al-Qur'an yang diturunkan kepada
Nabi Muhammab saw [9].
Mengenai masalah rasul-rasul, diyakini
sebagai utusan Allah swt, untuk menyampaikan kitab-kitab suci kepada umat
manusia. Utusan di bagi dua yaitu nabi dan rasul. Jumlah nabi ada 124.000 orang
sedangkan rasul ada 315 orang. Permulaan para nabi adalah nabi Adam dan
penutupnya nabi Muhammad . adapun nabi dan rasul yang wajib diketahui sebanyak
25 orang, yaitu yang disebutkan dalam Al-Qur'an, sedang yang lain tidak wajib
untuk diketahui namanya [10].
Adapun sifat-sifat yang wajib ada pada
para rasul itu ada empat dan yang mustahil ada empat pula, yaitu:
a. As Shidqu (jujur), mustahil Alkidzbu (dusta)
b. Al Amanah (dapat dipercaya), mustahil Al
Khiyanah (berkhiyanat)
c. At tabligh (menyampaikan perintah), mustahil
Al Khitman (menyembunyikan perintah)
d. Al Fathanah (cerdas), mustahil Al Baladah
(bodoh)
Sedangkan sifat yang boleh ada pada para
rasul, adalah bahwa para rasul itu boleh tertimpa oleh para manusia pada
umumnya, seperti sakit dan lain sebagainya, akan tetapi tidak sampai
mendatangkan kekurangan atau cacat. Di antara para rasul itu ada lima orang
yang dinamakan "Ulul 'Azmi", yaitu para rasul yang teguh dan sangat
tahan dalam menjalankan perintah-perintah Allah swt. mereka itu adalah: Nabi
Besar Muhammad saw, Nabi Ibrahim as,
Nabi Musa as, Nabi Isa as dan Nabi Nuh as.
Mengenai
masalah "hari akhir", diyakini bahwa setiap orang yang meninggal
dunia itu akan masuk ke alam barzakh/alam qubur. Di alam barzakh akan di tanyai
oleh malaikat Munkar dan Nakir, kemudian akan menerima nikmat atau siksa. Di
hari kiamat nanti semua nyawa yang berada di alam barzakh akan diberi jasad
kembali (dihidupkan); lalu dihalau ke padang mahsyar untuk diperhitungkan semua
amal perbuatan yang telah dilakukan di dunia. Setelah itu amal perbuatn
tersebut ditimbang, kemudian meniti di Shirathal Mustaqim. Mereka yang shalih
akan selamat dan terus masuk ke dalam surga dan mereka yang durhaka akan
tergelincir masuk ke dalam nereka. Orang-orang
yang kafir akan kekal di neraka, sedang mereka yang muslim yang berdosa dan
dosanya belum diampunkan oleh Allah swt., maka mereka akan menjalani hukuman di
neraka dan setelah habis atau selesai hukumnya, maka mereka akan dikeluarkan
dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Dan semua orang yang telah masuk surga
akan kekal di dalamnya selama-lamanya.
Mengenai
masalah qadla' dan qadar, diyakini bahwa Allah swt., telah mentakdirkan
kebaikan dan keburukan sebelum menciptakan makhluk. Dan bahwa semua yang ada
tidak terlepas dari qadla' dan qadar Allah swt., dan Ia menghendakinya. Adapun
pengertian qadla' dan qadar menurut ke dua tokoh as-sunnah wal jama’ah yaitu
sebagai berikut :
Menurut madzhab Asy'ariyah, qadla'
adalah kehendak Allah swt terhadap segala sesuatu pada zaman azali (zaman
sebelum Allah swt menciptakan makhluk) menurut kejadiannay pada zaman selain
azali (setelah diciptakakan). Sedang Qadar adalah perbuatan Allah swt mewujudkan
segala sesuatu menurut ukuran tertentu yang sesuai dengan kehendak-Nya.
Menrut madzhab Maturidiyah, qadla' itu
adalah perbuatan Allah swt mewujudkan segala sesuatu ditambah dengan penetapan
menurut kesesuaian ilmu Allah swt, yaitu penentuan-Nya pada zaman azali terhadap
setiap makhluk dengan ketentuan-Nya yang didapati pada setiap makhluk tersebut
tentang baik dan buruk, manfa'at dan madlarat dan lain sebagainya. Sedang qadar
adalah perbuatan allah swt mewujudkan segala sesuatu menurut kesesuaian ilmu.
Jadi pengetahuan Allah pada zaman azali bahwa seseorang itu akan menjadi orang
alim setelah orang tersebut diwujudkan, dinamakan qadla'.sedang mewujudkan ilmu
pada orang tersebut setelah berada di dunia, dinamakan qadar [11].
BAB
III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan tentang ahlussunnah
waljama’ah di atas maka penulis dapat
menyimpulkan sebagai berikut :
1.
Dalam catatan sejarah tidak lagi dipungkiri bahwa munculnya faham Ahlus
sunnah waljama’ah adalah setelah munculnya berbagai perbedaan faham setelah
Rasulullah wafat dan para sahabat wafat, benih-benih
perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbul lah
faham-faham yang bermacam-macam yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. Seperti
Mu’tazilah, Syiah , Khowarij dan lain-lain. Maka Sebagai reaksi dari
firqah-firqah yang sesat tadi muncullah faham atau golongan yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang
dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya atau yang
disebut dengan faham Ahlus sunnah
Waljama’ah.
2. Dari segi Aqidah faham Ahlus sunnah waljama’ah adalah
tidak bisa lepas dari dua orang Ulama besar dalam Ushuluddin,
yaitu Syeikh Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari dan Syekh Abu Mansur al Maturidi. Hal ini bukan berarti
mereka membawa membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan
kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan
nama kepadanya kerana beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf,
hujjah (argumentasi) yang beliau gunakan sebagai landasan kebenaran aqidahnya
juga tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, kerananya
para pengikutnya kemudian disebut Asy’ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy’ari bukanlah
ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah, ulama-ulama
sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah. Keduanya
hanyalah merumuskan serta membuat ringkasan yang mudah (method) dan menjelaskan
aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Secara garis
besar aqidah ahlussunnah wal jama’ah adalah meyakini 'Aqidah Islamiyah'
mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Abu Hasan Al Asya'ari dan Iman Abu
Mansur Al Maturidi, dalam bidang Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab
empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hambali, sedangkan Tasawwuf,
mengikuti thariqat dari Imam Abul Qasim Al Junaidi Al Baghdadi dan Hadist,
mengikuti Imam Bukhari, Muslim serta ulama’ hadis yang lain
B. KRITIK DAN SARAN
Demikian sekilas makalah tentang Ahlus Sunnah
Waljamma’ah semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada
umumnya. Akhirnya penulis menyadari dengan sepenuhnya masih banyaknya berbagai
kesalahan di berbagai hal untuk itu masukan dan saran dari semua pihak yang
membangun selalu penulis harapkan untuk sebuah kebaikan dan sesuatu ke arah
yang lebih baik.
DAFTAR RUJUKAN
Masduqi,
Drs.K.H.Ach. Konsep Dasar Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
Surabaya: Pelita dunia
Syihab, Drs. Tgk. H. Z.
A. Akidah ahlus sunnah. Bumi Aksara
Abbas, K.H.Siradjuddin.
I'itiqad Ahlus sunnah Wal Jama'ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah
http://nurul ilmi.com
[1]
K.H.
Siradjuddin Abbas, I'itiqad Ahlus sunnah Wal Jama'ah (Jakarta
:Pustaka Tarbiyah,tt), hlm. 8.
[2]
Drs.K.H.
Ach. Masduqi, Konsep dasar pengertian
ahlus sunnah wal jama'ah (Surabaya : Pelita Dunia,tt), hlm. 7.
[3]
Drs. Tgk. H. Z. A. Syihab, Akidah Ahlus sunnah ( Bumi Aksara), hlm. 37.
[5]
K.H. Siradjuddin Abbas. Op.cit.,
hlm.16
[7]
Drs. K.H. Ach.Masduqie, op.cit.,
hlm.38.