Saling Belajar dan Berbagi

Tuesday, 5 June 2012

Sekilas Aswaja


BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Dalam catatan sejarah, umat Islam dari abad permulaan hingga sekarang telah muncul banyak golongan yang i’tiqad dan fahamnya berbeda-beda bahkan bertentangan secara tajam antara satu dengan yang lain. Hal ini telah menjadi fakta yang tidak dapat di bantah lagi, karena hal yang serupa itu sudah terjadi pula pada periode atau zaman Rasulullah dan periode setelah beliau wafat. Tidak menutup kemungkinan Tuhan menjadikan semua itu sesuai dengan hikmah-hikmah yang hanya Allah  yang mengetahui. Golongan-golongan tersebut diantaranya yaitu, Syiah, Khawarij, Mu’tazilah, Qadiriyyah, Jabariyyah, wahabiyah, Ahlus Sunnah Wal Jama’ah (Sunny) yaitu firqah jumhur umat Islam yang banyak di dunia ini[1].
Banyaknya golongan yang muncul dipicu dengan adanya kepentingan masing-masing golongan yang tidak sepaham dengan golongan lain. Sehingga ada usaha untuk saling menyalahkan, bahkan yang lebih ekstrim lagi saling mengkafirkan antara golongan satu dengan golongan lain. Perbedaan paham antar golongan sangatlah sulit untuk dipersatukan. Hal ini sudah menjadi fakta sejarah yang sulit untuk  bisa diubah lagi, dan sudah menjadi salah satu khasanah keilmuan dalam agama. Sehingga tidak lagi heran melihat dan mencermati hal ini, karena nabi Muhammad SAW sendiri telah mengabarkan pada masa hidup beliau dalam hadistnya yang berbunyi :
افترقت اليهود على إحدى وسبعين فرقة وافترقت النّصارى ثنتين وسبعين فرقة وإنّ امّتي ستفترق على ثلاث وثبعين فرقة كلّها فى النّار إلّاواحدة وهي الجما عة
     “Telah terpecah orang–orang Yahudi menjadi tujuh puluh satu firqoh (golongan) dan telah terpecah orang-orang Nashoro menjadi tujuh puluh dua firqoh dan sesungguhnya umatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga firqoh semuanya dalam neraka kecuali satu dan ia adalah Al-Jama’ah”[2].  
Permasalahannya siapa, dan bagaimana orang yang berada pada apa yang aku dan para sahabatku berada di atasnya (aljama’ah), sebagaimana hadist Nabi tersebut karena pada saat ini semua golongan entah itu paham Ke Islaman, Organisasi keagamaan dan Paham – paham yang muncul, mengaku dirinyalah ahlusunnah dan yang paling benar dari yang lainnya sehingga tidak jarang memunculkan berbagai perpecahan dalam Islam karena  perbedaan cara beribadah, cara berpakaian dan sebagainya sehingga hal ini secara tidak langsung akan mengurangi persatuan dan kesatuan umat Islam itu sendiri.
       Padahal Kalau kita mempelajari Ahlussunnah dengan sebenarnya, batasan seperti itu nampak begitu simple dan sederhana, karena pengertian tersebut menciptakan definisi yang sangat eksklusif Untuk mengkaji secara mendalam, terlebih dahulu harus kita tekankan bahwa Ahlussunnah Waljamaah (Aswaja) sesungguhnya bukanlah madzhab, Aswaja hanyalah sebuah manhaj Al fikr (cara berpikir) tertentu yang digariskan oleh para sahabat dan muridnya, yaitu generasi tabi’in yang memiliki intelektualitas tinggi dan relatif netral dalam mensikapi situasi politik ketika itu. Meski demikian, bukan berarti dalam kedudukannya sebagai Manhaj Al fikr sekalipun merupakan produk yang bersih dari realitas sosio-kultural maupun sosio politik yang melingkupinya.
       Terlepas dari apakah Ahlussunah Waljama’ah itu sebuah Organisasi, Sebuah madzhab, organisasi Politik atau yang lainnya sedangkan kalau di Indonesia terlepas dari NU, Muhammadiyah, Ahmadiyah dan lain sebagainya pada makalah kali ini penulis akan mencoba memahami Ahlussunnah Waljama’ah dalam persepektif historis dan Akidah

B.  Rumusan Masalah
Setelah memperhatikan permasahan di atas agar tidak terjadi kesimpang siuran dalam penyusunan makalah ini, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut :
1.      Bagaimana latar belakang munculnya  faham ahlu sunnah waljama’ah ?
2.      Bagaimana konsep dasar  aqidah ahlu sunnah waljama’ah ?


BAB II
AHLUS SUNNAH WAL JAMA'AH

A.      Latar Belakang munculnya faham Ahlus sunnah waljama’ah
Sebelum membahas lebih jauh tentang paham ASWAJA  terlebih dahulu penulis jelaskan tentang pengertian faham Ahlus sunnah waljama’ah.  ASWAJA  adalah kepanjangan kata dari “ Ahlussunnah waljamaah”, Ahlussunnah berarti orang-orang yang menganut atau mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW, dan  waljamaah berarti mayoritas umat atau mayoritas sahabat Nabi Muhammad SAW. Jadi definisi Ahlussunnah waljamaah yaitu; “ Orang-orang yang mengikuti sunnah Nabi Muhammad SAW dan mayoritas sahabat ( maa ana alaihi wa ashhabi ), baik di dalam syariat (hukum Islam) maupun akidah dan tasawuf”.  Para ulama besar ahli hadist, fiqih, aqidah dan tasawuf berpendapat bahwa ahlus sunnah waljama’ah adalah golongan umat Islam yang selalu berpegang teguh pada kitab Allah (Al – Qur’an) dan sunah Rasul (Al – Hadist) serta para sahabat Nabi SAW. [3]
Istilah ahlussunnah waljamaah tidak dikenal di zaman Nabi Muhammad SAW maupun di masa pemerintahan al-khulafa’ al-rasyidin, bahkan tidak dikenal di zaman pemerintahan Bani Umayah ( 41 – 133 H. / 611 – 750 M. ). Istilah ini untuk pertama kalinya di pakai pada masa pemerintahan khalifah Abu Ja’far al-Manshur (137-159H./754-775M) dan khalifah Harun Al-Rasyid (170-194H/785-809M), keduanya dari dinasti Abbasiyah (750-1258). Istilah ahlussunnah waljamaah semakin tampak ke permukaan pada zaman pemerintahan khalifah al-Ma’mun (198-218H/813-833M).
Pada zamannya, al-Ma’mun menjadikan Muktazilah ( aliran yang mendasarkan ajaran Islam pada al-Qur’an dan akal) sebagai madzhab resmi negara, dan ia memaksa para pejabat dan tokoh-tokoh agama agar mengikuti faham ini, terutama yang berkaitan denga kemakhlukan al-qur’an. untuk itu, ia melakukan mihnah (inquisition), yaitu ujian akidah  terhadap para pejabat dan ulama. Materi pokok yang di ujikan adalah masalah al-quran. Bagi muktazilah,  al-quran adalah makhluk (diciptakan oleh Allah SWT), tidak qadim (  ada sejak awal dari segala permulaan), sebab tidak ada yang qadim selain Allah SWT. Orang yang berpendapat bahwa al-quran itu qadim berarti syirik dan syirik merupakan dosa besar yang tak terampuni. Untuk membebaskan manusia dari syirik,  al-Ma’mun melakukan mihnah. Ada beberapa ulama yang terkena mihnah dari al-Ma’mun, diantaranya, Imam Ahmad Ibn Hanbal ( 164-241H).
Penggunaan istilah ahlussunnah waljamaah semakin popular setelah munculnya Abu Hasan Al-Asy’ari (260-324H/873-935M) dan Abu Manshur Al-Maturidi (w. 944 M), yang melahirkan aliran “Al-Asy’aryah dan Al-Maturidyah” di bidang teologi. Sebagai ‘perlawanan’ terhadap aliran muktazilah yang menjadi aliran resmi pemerintah waktu itu. Teori Asy’ariyah  lebih mendahulukan  naql ( teks qur’an hadits)  daripada aql ( penalaran rasional). Dengan demikian bila dikatakan ahlussunnah waljamaah pada waktu itu, maka yang dimaksudkan adalah penganut paham Asy’ariyah atau al-Maturidyah dibidang teologi. Dalam hubungan ini ahlussunnah waljamaah dibedakan dari Muktazilah, Qadariyah, Syiah, Khawarij,  dan aliran-aliran lain. Dari aliran ahlussunnah waljamaah atau disebut aliran sunni dibidang teologi kemudian juga berkembang dalam bidang lain yang menjadi ciri khas aliran ini, baik dibidang  fiqih dan tasawuf. sehingga menjadi istilah, jika disebut  akidah sunni  (ahlussunnah waljamaah) yang dimaksud adalah pengikut Asy’aryah dan Maturidyah. Atau Fiqh Sunni,  yaitu pengikut madzhab yang empat ( Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hambali). Yang menggunakan rujukan alqur’an, al-hadits, ijma’ dan qiyas. Atau juga   Tasawuf Sunni,  yang dimaksud adalah pengikut metode tasawuf Abu Qashim Abdul Karim al-Qusyairi, Imam Al-Hawi, Imam Al-Ghazali dan Imam Junaid al-Baghdadi yang memadukan antara syari’at, hakikat dan makrifat [4].

B.         Konsep Dasar Aqidah faham Ahlus sunnah waljama’ah
Dalam agama Islam seakan melekat dan harus ada paling tidak tiga istilah yaitu Iman, Islam, dan Ihsan maka, faham Ahlus sunnah waljama’ah juga meliputi tiga bidang, yaitu :
1.    Aqidah Islamiyah yang meliputi persoalan yang harus diimani oleh setiap muslim
2.    Fiqih , yaitu hukum – hukum yang berkenaan dengan syari’at Islam
3.    Tasawuf, meliputi seluruh masalah tentang tata cara berakhlaq dan berbudi pekerti yang luhur menurut ajaran Islam
Sedangkan tokoh-tokoh dari ke-tiga unsur tersebut, golongan Ahlus sunnah waljama’ah  memiliki Imam masing-masing sesuai dengan bidangnya, antara lain:
a.    'Aqidah Islamiyah' mengikuti faham atau aliran yang dirumuskan oleh Imam Abu Hasan Al Asya'ari dan Iman Abu Mansur Al Maturidi dari aqidah-aqidah Islamiyah yang telah ada sebelumnya.
b.    Fiqih, mengikuti salah satu madzhab empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hambali
c.    Tasawwuf, mengikuti thariqat dari Imam Abul Qasim Al Junaidi Al Baghdadi
d.   Hadist, mengikuti Imam Bukhari, Muslim serta kawan-kawannya
I'itiqad Nabi dan para Shahabat itu telah termaktub dalam Al-Qur'an dan sunnah Rasul secara terpencar-pencar, belum tersusun secara rapi dan teratur, tetapi kemudian dikumpulkan dan dirumuskan secara rapi oleh seorang ulama ushuluddin yang besar, yaitu Syeikh Abu Hasan Ali al Asy'ari (lahir di Basrah)  tahun 260 H. – wafat di Basrah juga pada tahun 324 H. dalam usia 64 tahun) [5].
Tokoh yang kedua yaitu Iman Abu Mansur Al Maturidi dengan nama lengkap Muhammad bin Muhammad bin Mahmud beliau adalah ulama ushuluddin juga, dan dianggap sebagai pembangun Madzhab As-sunnah WalJama'ah, yang faham I'itiqadnya sama atau hampir sama dengan Abu Hasan al Asy'ari. Beliau lahir di sebuah desa di Samarqand Maturidi dan wafat di Maturidi juga pada tahun 333 H. ada yang mengatakan terkemudian 9 tahun ada juga yang mengatakan 10 tahun dari Imam Abu Hasan al Asy'ari [6].
Unsur pokok aqidah islam, golongan ASWAJA meliputi :
             1.     Masalah ke-Tuhan-an
             2.     Masalah Malaikat
             3.     Masalah Kitab-kitab Suci
             4.     Masalah Rasul-rasul
             5.     Masalah Hari Akhir
             6.     Masalah Qodla dan Qadar [7].
 Mengenai masalah ke-tuhan-an, golongan ahlus sunnah wal jama'ah berkeyakinan dengan terperinci bahwa Allah Ta'ala itu :
a.    Wajib wujud (ada-Nya, mustahil 'Adam)
b.    Wajib qidam (sedia tanpa permulaan), mustahil hudust (keadaan-Nya didahului oleh ketiadaan)
c.    Wajib baqa' (kekal tanpa kesudahan), mustahil fana' (rusak)
d.   Wajib mukhalafah lil hawadist (berbeda dengan selain-Nya).
e.    Wajib qiyamuhu binafsihi (berdiri dengan pribadi-Nya), mustahil membutuhkan pada selain-  Nya
f.     Wajib wahdaniyah (esa) dalam dzat-Nya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya, mustahi ta'adud (terbilang) dalam dzat-Nya, sifat-Nya dan perbuatan-Nya.
g.    Wajib Maha kuasa (qadiran), mustahil lemah ('Ajizan).
h.    Wajib Maha berkehendak (Muridan), mustahil terpaksa (Kahiran)
i.      Wajib Maha mengetahui ('Aliman), mustahil bodoh (Jahilan)
j.      Wajib Maha hidup (Hayyan), mustahil mati (Mayyitan).
k.    Wajib Maha mendengar (Sami'an), mustahl tuli (Assamman)
l.      Wajib Maha melihat (Basyiran), mustahil buta ( A'ma)
m.  Wajib Maha berbicara ( Mutakallaiman), mustahil bisu (Abkaman).
Sedangkan secara global, golongan Ahlus Sunnah Wal Jama'ah berkeyakianan bawa Allah S.W.T. memiliki semua sifat kesempurnaan yang tidak  terbatas dan disucikan dari semua sifat kekurangan.  Boleh dikatakan bahwa tuhan mempunyai sekalian sifat Jamal (Keindahan) sifat Jalal (Kebesaran) sifat Kamal (Kesempurnaan) [8].
Mengenai masalah malaikat, bahwa malaikat diimani sebagai makhluk halus yang diciptakan dari cahaya. Ada 10 malaikat yang wajib diimani oleh setiap muslim yaitu Jibril, Mika'il, Israfil, Izra'il, Munka, Nakir, Rakib, Atid, Malik, Ridwan.
 Mengenai masalah kitab-kitab suci, diyakini bahwa Allah SWT telah menurunkan kitab-kitab suci kepada para Rasul-Nya. Ada 4 kitab yang wajib diimani oleh setiap muslim yaitu: Kitab Taurat yang diturunkan kepada Nabi Musa as, Kitab Zabur yang diturunkan kepada Nabi Dawud , Kitab Injil yang diturunkan kepada Nabi Isa , Kitab Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammab saw [9].
Mengenai masalah rasul-rasul, diyakini sebagai utusan Allah swt, untuk menyampaikan kitab-kitab suci kepada umat manusia. Utusan di bagi dua yaitu nabi dan rasul. Jumlah nabi ada 124.000 orang sedangkan rasul ada 315 orang. Permulaan para nabi adalah nabi Adam dan penutupnya nabi Muhammad . adapun nabi dan rasul yang wajib diketahui sebanyak 25 orang, yaitu yang disebutkan dalam Al-Qur'an, sedang yang lain tidak wajib untuk diketahui namanya [10].
Adapun sifat-sifat yang wajib ada pada para rasul itu ada empat dan yang mustahil ada empat pula, yaitu:
a.  As Shidqu (jujur), mustahil Alkidzbu (dusta)
b.  Al Amanah (dapat dipercaya), mustahil Al Khiyanah (berkhiyanat)
c.  At tabligh (menyampaikan perintah), mustahil Al Khitman (menyembunyikan perintah)
d.  Al Fathanah (cerdas), mustahil Al Baladah (bodoh)
Sedangkan sifat yang boleh ada pada para rasul, adalah bahwa para rasul itu boleh tertimpa oleh para manusia pada umumnya, seperti sakit dan lain sebagainya, akan tetapi tidak sampai mendatangkan kekurangan atau cacat. Di antara para rasul itu ada lima orang yang dinamakan "Ulul 'Azmi", yaitu para rasul yang teguh dan sangat tahan dalam menjalankan perintah-perintah Allah swt. mereka itu adalah: Nabi Besar Muhammad saw, Nabi Ibrahim as,  Nabi Musa as,  Nabi Isa as dan  Nabi Nuh as.
Mengenai masalah "hari akhir", diyakini bahwa setiap orang yang meninggal dunia itu akan masuk ke alam barzakh/alam qubur. Di alam barzakh akan di tanyai oleh malaikat Munkar dan Nakir, kemudian akan menerima nikmat atau siksa. Di hari kiamat nanti semua nyawa yang berada di alam barzakh akan diberi jasad kembali (dihidupkan); lalu dihalau ke padang mahsyar untuk diperhitungkan semua amal perbuatan yang telah dilakukan di dunia. Setelah itu amal perbuatn tersebut ditimbang, kemudian meniti di Shirathal Mustaqim. Mereka yang shalih akan selamat dan terus masuk ke dalam surga dan mereka yang durhaka akan tergelincir masuk ke dalam nereka. Orang-orang yang kafir akan kekal di neraka, sedang mereka yang muslim yang berdosa dan dosanya belum diampunkan oleh Allah swt., maka mereka akan menjalani hukuman di neraka dan setelah habis atau selesai hukumnya, maka mereka akan dikeluarkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga. Dan semua orang yang telah masuk surga akan kekal di dalamnya selama-lamanya.
Mengenai masalah qadla' dan qadar, diyakini bahwa Allah swt., telah mentakdirkan kebaikan dan keburukan sebelum menciptakan makhluk. Dan bahwa semua yang ada tidak terlepas dari qadla' dan qadar Allah swt., dan Ia menghendakinya. Adapun pengertian qadla' dan qadar menurut ke dua tokoh as-sunnah wal jama’ah yaitu sebagai berikut :
Menurut madzhab Asy'ariyah, qadla' adalah kehendak Allah swt terhadap segala sesuatu pada zaman azali (zaman sebelum Allah swt menciptakan makhluk) menurut kejadiannay pada zaman selain azali (setelah diciptakakan). Sedang Qadar adalah perbuatan Allah swt mewujudkan segala sesuatu menurut ukuran tertentu yang sesuai dengan kehendak-Nya.
Menrut madzhab Maturidiyah, qadla' itu adalah perbuatan Allah swt mewujudkan segala sesuatu ditambah dengan penetapan menurut kesesuaian ilmu Allah swt, yaitu penentuan-Nya pada zaman azali terhadap setiap makhluk dengan ketentuan-Nya yang didapati pada setiap makhluk tersebut tentang baik dan buruk, manfa'at dan madlarat dan lain sebagainya. Sedang qadar adalah perbuatan allah swt mewujudkan segala sesuatu menurut kesesuaian ilmu. Jadi pengetahuan Allah pada zaman azali bahwa seseorang itu akan menjadi orang alim setelah orang tersebut diwujudkan, dinamakan qadla'.sedang mewujudkan ilmu pada orang tersebut setelah berada di dunia, dinamakan qadar [11].



BAB III
PENUTUP
A.  KESIMPULAN
Dari berbagai penjelasan tentang ahlussunnah waljama’ah  di atas maka penulis dapat menyimpulkan sebagai berikut :
1.      Dalam catatan sejarah tidak lagi dipungkiri bahwa munculnya faham Ahlus sunnah waljama’ah adalah setelah munculnya berbagai perbedaan faham setelah Rasulullah wafat dan para sahabat wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbul lah faham-faham yang bermacam-macam yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW. Seperti Mu’tazilah, Syiah , Khowarij dan lain-lain. Maka Sebagai reaksi dari firqah-firqah yang sesat tadi muncullah faham atau golongan yang  tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW dan para sahabatnya atau yang disebut  dengan faham Ahlus sunnah Waljama’ah.  
2.      Dari segi Aqidah faham Ahlus sunnah waljama’ah adalah tidak bisa lepas dari dua orang Ulama besar dalam Ushuluddin, yaitu Syeikh Abu Hasan ‘Ali al Asy’ari dan Syekh  Abu Mansur al Maturidi. Hal ini bukan berarti mereka membawa membawa ajaran baru atau madzhab baru, beliau hanya menegaskan kembali madzhab salaf, menghidupkan ajaran-ajaran sahabat Rasulullah. Penisbatan nama kepadanya kerana beliau konsisten dalam berpegang teguh ajaran salaf, hujjah (argumentasi) yang beliau gunakan sebagai landasan kebenaran aqidahnya juga tidak keluar dari apa yang menjadi hujjah para pendahulunya, kerananya para pengikutnya kemudian disebut Asy’ariyyah. Abu al-Hasan al-Asy’ari bukanlah ulama yang pertama kali berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah, ulama-ulama sebelumya juga banyak berbicara tentang Ahlussunnah wal Jama’ah. Keduanya hanyalah merumuskan serta membuat ringkasan yang mudah (method) dan menjelaskan aqidah yang diyakini oleh para nabi dan rasul serta para sahabat. Secara garis besar aqidah ahlussunnah wal jama’ah adalah meyakini 'Aqidah Islamiyah' mengikuti faham yang dirumuskan oleh Imam Abu Hasan Al Asya'ari dan Iman Abu Mansur Al Maturidi, dalam bidang Fiqih, mengikuti salah satu dari madzhab empat, yaitu: Hanafi, Maliki, Syafi'I, dan Hambali, sedangkan Tasawwuf, mengikuti thariqat dari Imam Abul Qasim Al Junaidi Al Baghdadi dan Hadist, mengikuti Imam Bukhari, Muslim serta ulama’ hadis yang lain

B.  KRITIK DAN SARAN
Demikian sekilas makalah tentang Ahlus Sunnah Waljamma’ah semoga bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Akhirnya penulis menyadari dengan sepenuhnya masih banyaknya berbagai kesalahan di berbagai hal untuk itu masukan dan saran dari semua pihak yang membangun selalu penulis harapkan untuk sebuah kebaikan dan sesuatu ke arah yang lebih baik.























DAFTAR RUJUKAN

Masduqi, Drs.K.H.Ach. Konsep Dasar Pengertian Ahlus Sunnah Wal Jama'ah.
     Surabaya: Pelita dunia
Syihab, Drs. Tgk. H. Z. A. Akidah ahlus sunnah. Bumi Aksara
Abbas, K.H.Siradjuddin. I'itiqad Ahlus sunnah Wal Jama'ah. Jakarta: Pustaka Tarbiyah
http://nurul ilmi.com








[1] K.H. Siradjuddin Abbas,  I'itiqad Ahlus sunnah Wal Jama'ah (Jakarta :Pustaka Tarbiyah,tt), hlm. 8.

[2] Drs.K.H. Ach. Masduqi,  Konsep dasar pengertian ahlus sunnah wal jama'ah (Surabaya : Pelita Dunia,tt), hlm. 7.

[3] Drs. Tgk. H. Z. A. Syihab, Akidah  Ahlus sunnah ( Bumi Aksara), hlm. 37.
[4] http://nurul ilmi.com


[5] K.H. Siradjuddin Abbas. Op.cit., hlm.16
[6] Ibid. hlm. 17.
[7] Drs. K.H. Ach.Masduqie, op.cit., hlm.38.
[8] Ibid., hlm.39.
[9] Ibid., hlm.40.
[10] Ibid., hlm. 41.
[11] Ibid., hlm. 44-45.

1 comment: