BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Di indonesia ada banyak macam-macam tarekat,
tarekat sudah ada sejak dahulu bahkan sejak zaman Nabi. Dalam tarekat tercakup
semua aspek ajaran islam, seperti salat, zakat, puasa, zihad, haji dan yang
lainnya, ditambah pengalaman serta seorang syaikh.
Tarekat adalah salah satu jalan yang ditempuh
oleh orang dalam usahanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang masuk
tarekat ingin ibadahnya lebih baik dari sebelumnya, walau kadang ada juga yang
ibadahnya tetap bahkan lebih menurun karena ia beranggapan dia telah masuk
tarekat dan ia akan selamat walau melakukan perbuatan yang salah.
Tapi dalam realitasnya orang yang masuk tarekat
dengan yang belum masuk lebih banyak yang belum dan ibadahnya juga ada yang
tertib da nada yang tidak tergantung dari masing-masing individu tersebut.
Cikal bakal tasawuf dan tarekat, benih-benih
dan dasar ajarannya tak dapat dipungkirisudah ada sejak dalam kehidupan Nabi
Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa yang terjadi
dalam hidup, dalam ibadah dan dalam pribadi Nabi Muhammad SAW. Cikal bakal itu
semuanya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Cikal bakal inilah yang
diteruskan pengamalannya oleh Ahlul Bait, Khulafaur-Rasyidin, para sahabat yang
lain, para Ahlus Shufah , para Salafus Shaleh, zaman tabi’in, tabi’it tabi’in
sampai dengan zaman muta-akhirin sekarang ini.
Para Sufi dan Syekh-syekh Mursyid dalam
tarekat, merumuskan bagaimana sistematika, jalan, cara, dan tingkat –tingkat
jalan yang harus dilalui oleh para calon sufi atau muri tarekat secara rohani
untuk cepat bertaqarrub, mendekatkan diri kehadirat Allah SWT. Kenyataan dalam
sejarah juga menunjukkan, bahwa peran serta aktif dari para sufi dan para tuan
syekh, mursyid, adalah amat besar dalam dakwah islam dan dalam pembinaan umat,
tidak hanya dalam bidang ibadah ubudiyah, tetapi meliputi seluruh aspek
kehidupan perorangan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendapat yang menyatakan bahwa tasawuf dan
tarekat itu menghambat kemajuan atau menyebabkan umat menjadi terbelakang
adalah sangat keliru. Kenyataan juga membuktikan, sejak dahulu sampai sekarang,
kemajuan pembangunan yang serba canggih buah dari ilmu pengetahuan dan
teknologi (IPTEK), tanpa dikendalikan oleh iman dan taqwa(IMTAQ), tidak hanya mengancam
timbulnya kehancuran umat manusia. Dengan kata lain, kemajuan dalam bidang
benda material tanpa diimbangi degan kemajuan pembinaan mental spiritual , akan
menjurus kepada kehancuran menyeluruh. Maka dari fenomena di atas muncul
istilah Thariqah Modern.
B.
Rumusan
Masalah
1.
Apa Pengertian
Thariqah ?
2.
Adakah
dalil tentang Thariqat ?
3.
Bagaimana
Sejarah Munculnya Thariqah ?
4.
Bagaimana hubungan Thariqah dengan
Tasawuf ?
5.
Bagaimana
perkembangan Thariqat ?
6.
Adakah
istilah Thariqat modern ?
BAB
II
THARIQAH MODERN DALAM TINJAUAN TASAWUF
A.
Pengertian Thariqah
Dari segi bahasa thariqah berasal dari bahasa
arab thariqah yang artinya jalan, keadaan, aliran dalam garis
sesuatu.[1] Secara
harfiah thariqah berarti jalan yang terang, lurus yang
memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat. Di kalangan Muhaddisin thariqah
digambarkan dalam dua arti yang asasi. Pertama menggambarkan sesuatu yang tidak
dibatasi terlebih dahulu (lancar), dan kedua didasarkan pada sistem yang jelas
dibatasi sebelumnya. Selain itu thariqah juga diartikan sekumpulan cara –cara
yang bersifat renungan, dan usaha inderawi yang mengantarkan pada hakikat, atau
sesuatu data yang benar.
Secara terminology, pemaknaan thariqah agak
sulit dirumuskan dengan pas, karena pengertian thariqah ikut berkembang
mengikuti perjalanan kesejarahan dan perluasan kawasan penyebarannya. Dari
berbagai sumber klasik maupun kotemporer, nampaknya thariqah dapat dimaknai
sebagai ”suatu sistem hidup bersama dan kebersamaan dalam keberagaman sebagai
upaya spiritualisasi pemahaman dan pengalaman ajaran Islam menuju tercapainya
ma’rifatullah.[2]
Harun Nasution mengatakan thariqah ialah jalan
yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan
Tuhan. Hamka mengatakan bahwa thariqah adalah perjalanan hidup yang harus
ditempuh di antara mahkluk dan khaliq.[3] Dalam
ilmu tashawuf juga dikatakan bahwa syari’at itu merupakan peraturan, thariqah
itu merupakan pelaksanaan sedangkan haqiqoh merupakan keadaan dan ma’rifat
merupakan tujuan yang terakhir. Tentang bagaimana melaksanakannya untuk
mencapai tujuan, kaum mutashwwifin antara satu dengan yang lain memiliki
perbedaan.
Salah satunya, thariqah adalah jalan atau
petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai dengan ajaran yang dibawa
oleh Rasulullah SAW, dan yang dicontohkan oleh beliau dan para sahabatnya serta
Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus bersambung hingga kepada para Guru-guru,
Ulama’, Kyai-kyai secara bersambung hingga sekarang ini (para Ulama’
Mutashawwifin).[4]
Dengan memperhatikan berbagai pendapat diatas, kiranya dapat diketahui bahwa
yang dimaksud dengan thariqah adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang
sufi yang didalam nya berisi amalan ibadah dan lainnya yang bertemakan menyebut
nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam
thariqah ini ditujukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara
rohaniah) dengan Tuhan.[5] Ada juga
yang memberikan definisi bahwa Thariqah adalah suatu metode atau cara yang
harus ditempuh seorang salik (orang yang meniti kehidupan sufistik) ,
dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Metode ini semula dipergunakan oleh seorang sufi besar dan kemudian diikuti
oleh murid – muridnya sebagaimana madzhab – madzhab dalam bidang fiqih dan firqah
– firqah dalam bidang kalam pada perkembangan berikutnya membentuk suatu
jam’iyah organisasi yang disebut thariqah.
Thariqah
modern sebenarnya pada dasarnya adalah sama dengan thariqah pada umumnya
utamanya dalam segi tujuan. Dalam beberapa rujukan penulis tidak menemukan
istilah thariqah modern namun yang mendekati dengan istilah tersebut adalah
pemikiran Hamka yang pernah menulis buku yang berjudul Tasawuf
Modern. Sekilas, judul tersebut memang menarik, karena adanya tasawuf
modern mengesankan adanya tasawuf kolot. Hanya saja, kalau kita baca buku
tersebut, yang dimaksud dengan istilah “Tasawuf Modern” adalah semacam suatu
pandangan kesufian yang relevan dengan kehidupan modern. Jadi, tasawuf modern
berseberangan dengan sufisme tradisional atau sufisme populer (popular
sufism), yang contohnya dapat kita saksikan pada praktik ziarah kubur ke
makam dan bahkan mengagung-agungkan orang yang dianggap sebagai wali. Karena
itu, ketika Hamka menyebut tasawuf modern, maksudnya adalah lepas dari
praktik-praktik semacam itu. Hamka tidak memahami tasawuf sebagaimana
gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf model Hamka ini menandingi
tasawuf tradisional yang seakan cenderung membawa bibit-bibit ke-bid’ah-an, khurafat,
dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang
begitu anti dengan hal-hal tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan, corak
tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian. Adanya istilah modern mengandung maksud
bahwa bagaimana dalam kehidupan yang serba modern ini mengaktualisasikan
pemikiran – pemikaran dan tujuan thariqah dalam setiap jiwa, maka bisa di
sebutkan bahwa thariqah modern hanyalah sebuah istilah yang mana pada intinnya
sama dengan ajaran dan tujuan thariqah pada umumnya hanya saja Istilah modern
adalah bagaimana mereaktualisasikan konsep pemikiran dan doktrin thariqat
diselaraskan dengan perubahan tata nilai dan peradaban modern
B.
Dalil Thariqah
1.
Dalil
Al – Qur’an
Didalam
al-Quran pun kata thariqah muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi
tauhid yang sempurna. Setelah Allah menjanjikan karunia yang banyak kepada
orang-orang yang istiqamah di atas thariqah, Allah langsung memberikan ancaman
siksa yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau berdzikir kepada-Nya
sebagaimana dalam
Q.S Al – Jin
Ayat 16 – 17 :
Èq©9r&ur (#qßJ»s)tFó$# n?tã Ïps)Ì©Ü9$# Nßg»oYøs)óV{ ¹ä!$¨B $]%yxî ÇÊÏÈ ÷LàioYÏGøÿuZÏj9 ÏmÏù 4 `tBur óÚÌ÷èã `tã Ìø.Ï ¾ÏmÎn/u çmõ3è=ó¡o $\/#xtã #Yyè|¹ ÇÊÐÈ
Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan
itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang
segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. dan
Barangsiapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan
dimasukkan-Nya ke dalam azab yang Amat berat.
Ibn al-Qayyim
al-Jauziyah dalam kitabnya Madarij al-Salikin mengutip perkataan Abu Bakar
al-Shiddiq r.a. ketika menyingung ayat tersebut. Sahabat agung ini pernah
ditanya mengenai maksud al-istiqamah ala al-thariqah dan ia menjawab,
“hendaknya engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuat (an la tusyrika
billahi syay-an).” Jadi, kata Ibn al-Qayyim, yang dimaksud (al-istiqamah ‘ala
al-thariqah) oleh Abu Bakar al-Shiddiq r.a. adalah al-istiqamah ala mahdhi
al-tauhid konsisten di atas tauhid yang murni artinya, thariqah dalam ayat tersebut
adalah”jalan menuju tauhid yang murni”. Tauhid yang murni ini pulalah yang
menjadi tujuan syekh-syekh tarekat sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn
Taimiyah. Tauhid inilah yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab Allah dan
yang diisyaratkan oleh syeikh-syeikh tarekat dan pakar-pakar agama
2.
Dalil
Hadis
Sebagaimana
yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud di dalam menerangkan
dekatnya Rosulullah SAW. yang artinya;”Ketika para sohabat R.A mendengar
pisahnya dengan beliau Rosulullah SAW. dari dunia ini , maka mereka
menjerit dan menangis seraya mereka berkata: Wahai Rosulullah SAW, Engkau
utusan kepada kita dan mengukuhkan perkumpulan kita dan menjadi pusat
urusan-urusan kita, ketika Engkau meninggalkan kita, maka siapa kita kembali ?.
Jawab “Beliau Rosulullah SAW.” Aku telah meninggalkan untuk kamu sekalian
2(dua) pusaka yaitu : Al-Mahajjah , yakni syari’at islammiah dan Ath-Thoriqotil-Baidlo’
yakni Thoriqoh yang bersih yang muttasil sanadnya bi – Rosulillah SAW.
Dan Aku (Nabi Muhammad .) telah
meninggalkan pula untukmu 2 petunjuk yaitu : Petunjuk yang dapat berbicara
yaitu Al-Qur’an. Petunjuk yang tidak dapat berbicara yaitu maut.[6]
3.
Dalil
Menurut Ijma’ Ulama’
mam Malik RA. Berkata dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 408.
مَنْ تَشَرَّعَ وَلَمْ يَتَحَقَّقْ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ تَحَقَّقَ وَلَمْ يَتَسَرَّعْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّق
Artinya: Barang siapa melaksanakan syari’at tanpa di sertai thoriqoh hukumnya adalah fasiq, dan barang siapa hanya melakukan toriqoh saja tanpa disertai dengan syari’at hukumnya adalah kafir zindiq, dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya (syari’at dan thoriqoh) maka dia akan sampai pada derajat hakikat (WhusululilaAllah).
مَنْ تَشَرَّعَ وَلَمْ يَتَحَقَّقْ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ تَحَقَّقَ وَلَمْ يَتَسَرَّعْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّق
Artinya: Barang siapa melaksanakan syari’at tanpa di sertai thoriqoh hukumnya adalah fasiq, dan barang siapa hanya melakukan toriqoh saja tanpa disertai dengan syari’at hukumnya adalah kafir zindiq, dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya (syari’at dan thoriqoh) maka dia akan sampai pada derajat hakikat (WhusululilaAllah).
قَالَ الشَّيْخُ نَجْمُ الدِّيْنِ اَلْكِبْرِىْ : اَلشَّرِيْعَةُ
كَالسَّفِيْنَةِ وَالطَّرِيْقَةُ كَاْلبَحْرِ وَلْحَقِيْقَةُ كَالدُّرّ ِفَمَنْ
أَرَادَ الدُّرّ َرَكِبَ ِفيْ السَّفِيْنَةِ ثُمَّ شَرَعَ ِفيْ اْلبَحْرِ ثمُ
َّوَصَلَ ِالىَ الدُّرّ ِفَمَنْ تَرَكَ هٰٰذَا التَّرْتِيْبَ َلا يَصِلُ اِلىَ
الدُّر ِ
Artinya: Syari’at itu bagaikan perahu, thoriqoh bagaikan laut dan hakikat itu bagaikan intan/permata yang berada di tengah lauatan, barang siapa mengiginkan intan permata itu maka dia harus naik perahu dan berlayar ke tengah lautan kemudian menyelam ke dasar laut, maka dengan cara itulah dia akan menemukan intan permata. Dan barang siapa meninggalkan urutan/tata cara ini maka dia tidak akan sampai dan tidak akan menemukan sebuah intan/permata.
Artinya: Syari’at itu bagaikan perahu, thoriqoh bagaikan laut dan hakikat itu bagaikan intan/permata yang berada di tengah lauatan, barang siapa mengiginkan intan permata itu maka dia harus naik perahu dan berlayar ke tengah lautan kemudian menyelam ke dasar laut, maka dengan cara itulah dia akan menemukan intan permata. Dan barang siapa meninggalkan urutan/tata cara ini maka dia tidak akan sampai dan tidak akan menemukan sebuah intan/permata.
Diterangkan dalam kitab Jamiul Ushul Fil Auliya’ Wa Anwa’ihim hal.
75-76.
Melakukan thoriqoh harus dibimbing oleh guru yang disebut Mursyid atau Syekh, tidak bisa sembarangan. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya. Ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah serta rohaniyah. Bahkan seorang Syekh adalah sebagai perantara (robithoh) antara murid dengan Tuhan dalam beribadah. Karena itu seorang Syekh haruslah sempurna suluk-nya dalam ilmu syari’at dan hakikat menurut Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’.[7]
Melakukan thoriqoh harus dibimbing oleh guru yang disebut Mursyid atau Syekh, tidak bisa sembarangan. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya. Ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah serta rohaniyah. Bahkan seorang Syekh adalah sebagai perantara (robithoh) antara murid dengan Tuhan dalam beribadah. Karena itu seorang Syekh haruslah sempurna suluk-nya dalam ilmu syari’at dan hakikat menurut Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’.[7]
C.
Sejarah Timbulnya Tarekat
Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada
tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan
tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang
berhasrat mempelajarinya. Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu
sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran
itulah yang kemidian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya
dari tarekat yang lain.[8]
Teori lain sejarah kemunculan tarekat
dikemukakan oleh Jhon O. Voll. Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap
Islam muncul sejak awal sejarah islam, dan para sufi yang mengembangkan
jalan-jalan spiritual personal mereka dengan melibatkan praktik-praktik ibadah,
pembacaan kitab suci, dan kepustkaan tentang keshalehan. Para sufi ini
kadang-kadang terlibat konflik dengan otoritas-otoritas dalam komunitas islam
dan memberikan alternatif terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik,
yang disampaikan oleh kebanyakan ulama. Namun, para sufi secara bertahap
menjadi figur-figur penting dalam kehidupan keagamaan dikalangan penduduk awam
dan mulai mengumpulkan kelompok-kelompok pengikut diidentifikasi dan diikat
bersama oleh jalan taswuf khusus (tarekat) sang guru. Mejelang abad ke-12 M
(ke-5 H), jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih
permanen, dan tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama
dalam komunitas islam.[9]
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang
dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada priode ini
mulai timbul beberapa, diantaranya tarekat Yasafiah yang didirikan oleh Ahmad
al-Yasafi (w. 562 H/1169 M), tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd
al-Khaliq al-Ghzudawani (w. 617 H/1220 M), tarekat Naksabandiyah, yang didirikan
oleh Muhammad Bahauddin an-Naksabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1389 M) di
Turkistan, tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w. 1397
M). Karena banyaknya cabang-cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat
induk, sangat sulit untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu se cara
sistematis dan konsepsional. Akan tetapi yang jelas sesuai dengan penjelasan
Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni
suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan
baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni tadi meninggalkan ribat
gurunya dan membuka ribat baru didaerah lain. Dengan cara ini, dari satu
ribat induk kemudian timbul ribat cabang tumbuh ribat ranting
dan seterusnya, samapi tarekat itu berkembang keberbagai dunia islam.[10] Namun, ribat-ribat tersebut tetap
mempunyai ikatan kerohanian, ketaatan, dan amalan-amalan yang sama dengan
syekhnya yang pertama. Dalam seluruh tarekat terdapat kegiatan ritual sentral
yang melibatkan pertemuan-pertemuan kelompok secara teratur untuk melakukan
pembacaan do’a, syair dan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an.
D.
Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Didalam ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak
saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang
syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah
seorang syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada didalam
agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, yang semua itu
merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[11]
Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu
secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin,
melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini
biasanya dilakukan dibawah bimbimngan seoang guru atau syekh. Dengan demikian,
dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah,
sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya
mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan bahwa tarekat adalah
tasawuf yang telah berkembang dengan beberapa variasi tertentu, sesuai dengan
spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya.
Thariqah berakar dari pengalaman seorang
sufi-ahli tasawuf- dalam mengajarkan ilmunya kepada orang lain, pengajaran mana
kemudian dikembangkan pengikutnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya
kemudian, thariqah terkait erat dengan nama guru tasawuf itu. Dalam pengertian
ini, maka penanaman satu thariqah diambil dari nama pemimpin kelompok belajar
itu. Berdasarkan pemaknaan thariqah tadi, terlihat bahwa lembaga thariqah salah
satu betuk kelanjutan usaha para sufi terdahulu dalam menyebarluaskan tasawuf sesuai
pemehamannya. Dalam ilmu tasawuf, kata thariqah diartikan sebagai “cara sufi”
mendekatkan diri kepada Allah yang disebut thuruq as suffiyah. Sedangkan
dalam thariqah, kata ini dimaknai sebagai trade mark seorang sufi.[12]
Peralihan
tasawuf sebagai ilmu praktis dan bersifat perorangan ke thariqah sebagai
lembaga, terkait dengan perkembangan tasawuf dan perluasan tasawuf itu sendiri.
Dengan semakin banyak tersosialisasikannya tasawuf, maka semakin banyak pula
orang yang ingin belajar tasawuf. Para peminat tasawuf itu mendatangi orang
yang dinilai memiliki otoritas dalam tasawuf untuk menuntun mereka belajar dari
seorang guru yang menguasai sistem pembelajaran yang disusun berdasarkan
pengalaman dalam satu bidang ilmu terapan. Oleh karena itu bertemunya dua kebutuhan
itulah kemudian seorang guru tasawuf memformulasikan sistem pembelajaran
tasawuf yang memuat beberapa unsur dasar. Sistem pembelajaran itu kemudian
menjadi hak paten bagi satu thariqah dan sekaligus pembeda dari
thariqah-thariqah lainnya.
Guru dalam thariqah yang sudah melembaga itu
selanjutnya disebut Mursyid atau Syeikh dan wakilnya disebut Khalifah. Adapun
pengikutnya disebut Murid. Sedangkan tempatnya disebut rithbah atau zawiyah
atau taqiyah.[13]
Dan thariqah itu merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri
kepada allah, maka orang yang menjalankan thariqah itu harus menjalankan
syari’at dan si murid harus memenuhi unsur-unsur berikut:
a.
Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan
dengan syariat agama
b.
Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk
mengikuti jejak dan guru; dan melaksanakan perinthnya dan menjahi larangannya.
c.
Tidak mencari-cai keinginan dalam beramal agar
tercapai kesempurnaan yang hakiki
d.
Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin
dengan segala wirid dan doa guna pemantapan dan kekhususan dalam mencapai
maqomat yang lebih tinggi
e.
Mengekang hawa nasfsu agar terhindar dari
kesalahan yang dapat menodai amal.
Ciri-ciri thariqah tersebut merupakan cirri
pada umumnnya dianut setiap kelompok, sedangkan dalam bentuk amal dan wiridnya
berbeda-beda. Sebagai contoh dapat dikemukakan masalah dzikrullah, dzikir
mengingat Allah. Ada thariqoh yang memiliki dzikir-dzikir tertentu dengan
caranya sendiri-sendiri. Missalnya ada yang berdzikir dengan bersuara atau yang
disebut dzikir lisan. Ada dzikir yang diucapkan dalam hati yang dinamakan
dzikrul qolbi dan ada juga dzikrullah yang diucapkan secara rahasia yang
dinamakan dzikir sir.
Pada umumnya dzikir lisan itu berupa lafadz “laailaaha
ilallah”, dzikir qolbi berbunyi “Allah” dan dzikir sir
berbunyi ”hu” yang artinya dia yaitu Allah. Ada dzikir yang
diucapkan secara bersama-sama, ratib, baik diiringi dengan tabuhan, duf,
maupun diiringi dengan nyanyian, tari-tarian, menurut irama dzikir, dengan
tarikan nafas, langgam suara atau gerak badan tertentu.
Dari macam-macam pelaksanaanya baik dari tata
cara berdzikir, bentuk wirid atau tata cara lainnya, ada pula yang melalui tiga
tingkatan yang sudah sangat terkenal yaitu takhalli, tahalli dan tajalli.
a.
Takhalli artinya membersihkan diri dari sifat-sifat
tercela, kekotoran hati dari maksiat lahir dan batin
b.
Tahalli artinya mengisi diri dengan sifat-sifat
terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan taat batin
c.
Tajallli artinya merasakan persaan ketuhanan hingga
mencapai kenyataan tuhan. Inilah maqom tertinggi dalam thoriqot yakni mencapai
tajalli.
Selain cara itu, imam al-Ghozali mempunyai cara
tersendiri dalam penguraiannya, namun memiliki kemiripan dngan uraian diatas.
Beliau menggunakan istilah Mukhlikat dan Munjiyat sebagaimana dalam Kitab “Ihya’
Ulumuddin” Jus tiga dan empat, yaitu perbatan- perbuatan yang
membinasakn harus disingkirkan dan perbuatan-perbuatan yang menyelematkan daa
membawa manusia pada kebahagiaan harus dijalankan. Lalu beliau memberikan suatu
latihan brtingkat yang disebut muqorobah dan muhasabah yadiri dari musyarrotoh,
muroqobah,muhasabah, mujhadah dan mua’tabah yang kahirnya tercapailah
mukhasyafah serta tersingkapnya hijab antara kholiq dan makhluk.[14]
Dengan demikian, thariqah mempunyai hubungan
substansial dan fungsional dengan tasawuf. Thariqah pada mulanya berarti tata
cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk sekelompok yang
menjadi pengikut bagi seorang syeikh. Kelompok ini kemudian menjadi
lembaga-lembaga yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut dengan
aturan-aturan sebagaimana disebutkan diatas. Ajaran tasawuf yang harus
diamalkan dalam bimbingan seorang guru, itulah yang disebut sebagai thariqah.
Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa tasawuf adalah seperangkat ilmu
mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan thariqah adalah suatu sistem untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang salah satu unsur pokoknya adalah ilmu
tasawuf. Karena ajaran pokok thariqah adalah tasawuf, atau sebagian dari
tasawuf, semakin jelas pula terlihat bahwa hubungan thariqah dan tasawuf adalah
“hubungan simbiosis” hubungan yang saling mengisi dan memerlukan.
E.
Perkembangan Thariqah
1.
Perkembangan
Thariqah secara Luas
Dari
berbagai literature yang dirujuk (Hamka, Tasawuf-Perkembangan dan
Pemurniannya, Nurul Islam, Jakarta, 1987: hlm.102), nampaknya Thariqah
Taifuriyah adalah thariqah tertua. Thariqah ini berdiri pada abad ke IX di
Persia yang mengembangkan tasawuf Abu Yazid al-Busthami al-Taifuriyah.
Perkembangan nyata keberadaan thariqah adalah sekitar abad XII di dua daerah
basis, yaitu di Khurasan (Persia) dan Mesopotamia (Irak). Thariqah yang
bermunculan di daerah Khurasan beraliran tasawuf Abu Yazid, sedangkan thariqah
yang berkembang di Mesopotamia berakar pada tasawuf Junaid al-Baghdadi. Pada
era abad XII itu, di Khurasan berdiri thariqah Yasaviyah yang dipelopori oleh
Ahmad al-Yasavi(w.1169) dan thariqah Khawajaganiyah yang didirikan oleh abdul
Kholiq al-Ghazdawani(1220).[15]
Thariqah Yasviyah melebarkan sayapnya ke
kawasan Turki dengan nama baru thariqah Bektashiyah diidentikan dengan nama
pendirinya Muhammad Atha’ bin Ibrahim Hajji Bektash (w.1335). Thariqah ini
cukup popular pada masa kekuasaan Sultan Murad I, karena thariqah itu
memilikipasukan komando sebagai kekuatan inti kerajaan Turki Osmani, yang
disebut ”Jennisari”. Thariqah Naqsyabandiyah adalah salah satu thariqah yang
merupakan pengembangan dari thariqah Khawajaganiyah yang didirikan oleh
Muhammad Bahauddin al-Naqsyaband al-Awisi al-Bukhari (w.1335). dalam
perkembangan selanjutnya thariqah ini menyebar ke Turki, India, Indonesia
dengan nama baru sesuai pendirinya di kawasan setempat.
Selain dari dua thariqah induk di atas,
thariqah yang tergolong rumpun Khurasan masih banyak lagi yang berpengaruh
dalam dunia thariqah, seperti thariqah Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar
al-Khawalti (w.1397). di kawasan Mesir thariqah ini didirikan oleh Ibrahim
Ghulseni (1534) yang kemudian berganti nama thariqah Sammaniyah yang didirikan
oleh Muhammad ibn abdul Karim al-Sammani (w.1775).
Thariqah yang berasal dari rumpun Mesopotamia-Irak
ajarannya berakar dari tasawuf Abdul Qasim al-Junaidi yang (w. 910) atau
menganut paham tasawuf Abdul Qadir al-Jailani (w.1078). Thariqah Suhrawardiyah
yang dirintis oleh Abu Hafs as Suhrawardi (w.1234), thariqah Kubrawiyah yang
dipelopori Najamuddin Kubra (w.1221) cukup digemari di India dan Pakistan dan
thariqah Maulawiyah yang yang didirikan oleh Jalaludin ar-Rumi (w.1273)
berkembang baik di daerah Turki, adalah thariqah-thariqah besar yang mengacu
pada tasawuf al-Junaidi. Thariqah Qadriyah yang dibangun oleh Muhyidin Abdul
qadir al-Jailani di Irak, melebarkan ajaran tasawufnya melalui thariqah
Shadziliyah yang didirikan oleh Nuruddin as-Shadzili (w.1258) dan thariqah
Rifaiyah yang dirintis oleh Ahmad ibn Ali Ar-Rifa’I (w.1182). thariqah yang
berasal dari rumpun Qadiriyah, tersebar luas di hamper seluruh negeri Islam.
Thariqah Faridiyah yang mengilhami lahirnya thariqah Sanusiyah dan Idrisiyah di
kawasan Afrika Utara, adlah thariqah-thariqah yang termasuk rumpun Qadiriyah
yang berakar pada tasawuf Dzunan Nun Al-Mishri (w.860). thariqah Qadariyah
masuk ke kawasan India atas jasa Muhammad al0Ghawath dengan mendirikan thariqah
Ghawatiya sekitar tahun 1617.[16] Penyebaran
itu hanyalah dalam segi jumlah tetapi tidak menyentuh aspek anutannya
2.
Thariqah yang
Berkembang di Indonesia
Sebagai
bentuk tasawuf yang melembaga, thariqah ini merupakan kelanjutan dari
pengikut-pengikut sufi yang terdahulu. Perubahan tasawuf kedalam thariqah
sebagai lembaga dapat dilihat dari perseorangannya, yang kemudian menjadi thariqah
yang lengkap dengan symbol-simbol dan unsurnya sebagaimana disebutakan di atas.
Dari sekian banyak aliran thariqah tersebut
terdapat sekurang-kurangnya enam aliran thariqah yang berkembang di Indonesia,
yaitu thariqah Qadariyah, Rifaiyah, Nasqsyabanidiyah, Sammaniyah, Khalawatiyah,
dan Khalidiyah.
a.
Thariqah Qadariyah
Thariqah
Qadariyah didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166) dan ia sering
pula disebut al-Jilli. Thariqah ini banyak tersebar di dunia Timur, Tiongkok,
sampai pulau Jawa. Pengaruh thariqah ini cukup banyak meresap di hati
masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib pada acara-acara tertentu.
Naskah asli manaqib ditulis dalam bahasa Arab. Berisi riwayat hidup dan
penaglaman sufi abdul Qadir Jaelani sebanyak 40 episode. Manaqib ini dibaca
denagn tujuan agar mendapatkan berkah dengan sebab keramatnya.
b.
Thariqah Rifa’iyah
Thariqah
Rifa’iyah didirikan oleh syaik Rifa’i. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin
abbas. Meninggal di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awal tahun 578 H.
Bertepatan dengan tanggal 23 September tahun 1106M. Dan ada pula yang
mengatakan bahwa ia meninggal pada bulan Rajab tahun512 H. Bertepatan dengan
bulan November tahun 1118 M. Di Qaryah Hasan. Thariqah ini banyak tersebar di
daerah Aceh, Jawa, Sumatera Baret, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya.
c.
Thariqah Naqsyabandi
Adapun
thariqah Naqsyabandi didirikan oleh Muhammad bin Bhauddin al-Uwaisi al-Bukhari
(727-791 H). Ia biasa di sebut Naqsyabandi diambil dari kata nasqyaban yang
berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan lukisan tentang yang
gaib-gaib.
Thariqah ini banyak tersebar di Sumatera, Jawa,
maupun Sulawesi. Ke daerah Sumatera Barat, tepatnya daerah minangkabau,
thariqah ini dibawa oleh Syaikh Ismail al-Khalidi al-Kurdi, sehingga dikenal
dengan sebutan Thariqah Nasqsyabandiah al-Khalidiyah. Amalan thariqah ini tidak
banyak dijelaskan ciri-cirinya.
d.
Thariqah Tsamaniyah
Thariqah
Samaniyah didirikan oleh Yaikh Saman yang meninggal dalam tahun 1720 di
Madinah. Thariqah ini banyak tersebar luas di Aceh, dan di Palembang dan daerah
lainnya di Sumatera. Di Jakarta thariqah ini juga sangat besar pengaruhnya,
terutama di daerah pinggiran kota, di daerah Palembang orang banyak yang
membaca riwayat Syaikh Saman sebagai tawassul untuk mendapatkan berkah.
e.
Thariqah Khalwatiyah
Thariqah
khalwatiyah didirikan oleh Zahiruddin (w. 1397 M) di Khurasan dan merupakan
cabang dari thariqah Suharawadi yang didirikan oleh Abdul Qadir Shurawardi yang
meninggal tahun 1168 M. Thariqah Khalawatiyah ini mula-mula tersiar di Banten
oleh Syaikh Yusuf Al-Khalawati al-Makasari pada masa pemerintahan Sultan Ageng
Tirtayasa.
Thariqah ini banyak pengikutnya di Indonesia,
dimungkinkan karena suluk dari thariqah ini sangat sederhana dalam
pelaksanaannya. Untuk membawa jiwa dari tingkat yang rendah ke tingkat yang
lebih tinggi melalui tujuh tingkat, yaitu peningkatan dari nafsu amarah,
lawwamah, mulhamah, muthmainnah, radhiyah, mardiyah dan nafsu kamilah.
f.
Thariqah
Khalidiyah
Thariqah
Khalidiyah adalah salah satu cabang dari thariqah Nasqyabandiyah di Turki, yang
berdiri pada abad XIX. Pokok-pokok thariqah Khalidiyah dinbangun oleh Syaikh
Sulaiman Zuhdi al-Khalidi. Thariqah in berisi tentang abad dan Zikir, tawassul
dalam thariqah, adab suluk, tentang saik dan mawamnya , tentang ribath dan
beberapa fatwa pendek dari Syaikh Sulaiman al-Zuhdi al-Khalidi mengenai
beberapa persoalan yang diterima dari bermacam-macam daerah.
Thariqah ini
banyak berkembang di Indonesia dan mempunyai Syaikh Khalifah dan Mursyid yang
diketahui dari beberapa surat yang berasal dari Banjarmasin dan daerah-daerah
lain yang dimuat dalam kitab kecil yang berisi fatwa Sulaiman az-Zuhdi
Al-Khalidi.
F.
Istilah Thariqah
Modern
Sebagaimana di jelaskan dalam pengertian di atas bahwa Thariqah
modern hanyalah sebatas Istilah jadi yang hendak di maksud menurut pemahaman
penulis bagaimana mengaktualisasikan ajaran – ajaran thariqah yang di pahaminya
dalam kehidupan yang modern sekarang ini. Kemudian andaikan disebutkan tokoh –
tokoh thariqah modern sangat sulit menemukan tulisan yang menguraikan Istilah
tersebut. Adanya Tasawuf modern padahal kalau kita pahami antara Thariqah dan
Tasawuf secara teori berbeda namun keduanya saling berhubungan dan
berkesinambungan sebagaimana keterangan di atas. Tanpa maksud untuk mencampur
aduk antara thariqah dan tasawuf pada pembahasan Thariqah modern ini penulis
cenderung mengikut pada istilah tasawuf modern. Diantara tokohnya adalah
1.
Muhammad
Iqbal
Muhammad Iqbal berpendapat bahwa selain mendukung pola hidup
sufistik, juga memberikan pencerahan pemahaman kesufian dengan spirit jihad
yang aktif dan dinamis. Ia menggugah umat Islam untuk tampil melepaskan
keterbelakangan dan dominasi bangsa barat. Menurutnya sufisme islam sebenarnya
memiliki spirit yang dinamis, aktif dan aktual.[17]
2.
Hamka
Pemikirannya bagaimana mereaktualisasikan konsep pemikiran dan
doktrin tasawuf diselaraskan dengan perubahan tata nilai dan peradaban modern
yang di munculkan dalam gagasannya “Tasawuf Modern”. Menurut Hamka, sebenarnya
kehidupan sufistik itu lahir bersama dengan lahirnya agama Islam itu sendiri
karena ia tumbuh dan berkembang dari pribadi pembawa Islam (Nabi Muhammad)
sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi dan Sahabatnya bahwa tasawuf
Islam sangat dinamis. Para Ulama’ terkemudian – Lah yang membawa praktek
kehidupan sufisme menjauhi kehidupan dunia dan masyarakat.[18]
Pengertian sufisme menurut Hamka bukan membenci dunia, meninggalkan kehidupan
umum, dan membelakangi masyarakat. Melainkan memperteguh jiwa dan memperkuat
pribadi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sufisme murni tidak lari dari
gelombang kehidupan, melainkan menghadapi kehidupan dan lebur dalam masyarakat.
Mendekatkan diri kepada Allah tidak mesti selalu di Masjid atau ditempat –
tempat sunyi. Bagi hamka Sufisme akan tetap cocok dan sesuai dengan
perkembangan Zaman karena sufisme adalah dimensi kerohanian islam dan aktifitas
spiritual bukan sekedar kegiatan fisik. Menurutnya agar jiwa manusia sehat maka
ia harus senantiasa bergaul dengan orang – orang yang budiman, membiasakan diri
untuk selalu berfikir, menahan syahwat dan marah, bekerja dengan teratur dan
selalu memeriksa cita – cita diri. [19]
3.
Sayyed
Husen Nasr
Menurutnya adanya dominasi peradaban
barat dan kemajuan iptek ternyata tidak menjamin kebahagiaan batin. Hal ini
kemudian yang menyebabkan terjadinya gerakan – gerakan spiritualisme
memunculkan banyak aliran thariqat dan lahirnya thariqat – thariqat baru.
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Dari
berbagai uraian di atas dapat di simpulkan :
1.
Thariqah adalah suatu metode atau cara yang
harus ditempuh seorang salik (orang yang meniti kehidupan sufistik) ,
dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah.
Metode ini semula dipergunakan oleh seorang sufi besar dan kemudian diikuti
oleh murid – muridnya sebagaimana madzhab – madzhab dalam bidang fiqih dan firqah
– firqah dalam bidang kalam pada perkembangan berikutnya membentuk suatu jam’iyah
organisasi yang disebut thariqah.
2.
Bahwa
dalil thariqah walaupun secara tekstual tidak disebutkan secara jelas dalam
sumber hukum islam namun demikian jika dikaji secara mendalam secara kontekstul
terdapat dalil yang shorih baik dalam al – quran, hadis maupun ijtihad ulama’
3.
Secara
sosiao historis bahwa kemunculan Thariqah tampak lebih dari sekedar tuntutan
sejarah dan latar belakang yang cukup beralasan baik secara sosiologis maupun
politis pada waktu itu. Yang mana kemunculannya paling tidak disebabkan oleh
dua faktor yautu faktor kultural struktural.
4.
Thariqah mempunyai hubungan substansial dan
fungsional dengan tasawuf. Thariqah pada mulanya berarti tata cara dalam
mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi
pengikut bagi seorang syeikh. Sedangkan thariqah adalah suatu sistem untuk
mendekatkan diri kepada Allah yang salah satu unsur pokoknya adalah ilmu
tasawuf. Karena ajaran pokok thariqah adalah tasawuf, atau sebagian dari
tasawuf, semakin jelas pula terlihat bahwa hubungan thariqah dan tasawuf adalah
“hubungan simbiosis” hubungan yang saling mengisi dan memerlukan.
5.
Dalam perkembangannya Tahriqah mengalami
berbagai bentuk perkembangan dan istilah baik dalam arti luas maupun dalam arti
yang sempit termasuk salah satu bentuk dari perkembangan itu adalah adanya
istilah thariqah modern
6.
Istilah
thariqah modern sebenarnya secara substansi adalah sama sebagaimana ajarah
thariqah dari pengertian awal baik secara ajaran maupun tujuan hanya saja
istilah modern adalah bagimana mereaktualisasikan ajaran – ajaran thariqah
dalam kehidupan di dunia modern
B.
KRITIK
DAN SARAN
Demikian makalah ini penulis sampaikan. Tentunya masih terjadi
berbagai kekurangan di berbagai hal. Harapan penulis mudah – mudahan makalah
ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Kritik dan
saran yang membangun dari semua pembaca dan pihak selalu penulis tunggu demi
subuah kebaikan ke arah yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA
Al aziz Senali
, Moh.Saifulloh. Tashawuf Dan jalan Hidup para Wali. Gresik: Putra
Pelajar,2000.
Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan pemurniannya.Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993.
Hamka , Tasawuf
Modern.Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990.
Nata, Abuddin. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006,
Nata, Abuddin. Akhlak
Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006,
Nasution, Harun
.Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam, Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf,
Proyek Pembinaan Prasarana Dan Saran Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di
Jakarta Ditb. baga Depag RI, 1986.
Siregar,
A.Rivay Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002.
Proyek
Pembinaan Pergiruan Tinggi Agama Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf,
1981/1982.
[1] Abuddin Nata, Akhlak
Tasawuf.(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.269.
[2] A.Rivay
Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme.( Jakarta: PT
RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.263.
[3] Abuddin Nata, op.
Cit., hlm.270.
[4] Moh.Saifulloh
Al aziz Senali, Tashawuf Dan jalan Hidup para Wali. (Gresik: Putra
Pelajar,2000),hlm.32.
[5] Abuddin Nata, op
cit .,hlm.270-271.
[9] Jhon O. Voll,
“Tarekat-Tarekat Sufi ”., hlm. 215
[10] Harun
Nasution, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam ” Dalam Orientasi
Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Saran Perguruan
Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditb. baga Depag RI, 1986, hlm. 24.
[11] Proyek
Pembinaan Pergiruan Tinggi Agama Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf,
1981/1982, hlm. 273.
[17] Kharisudin
Aqib, Al Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah (Surabaya
: PT.Bina Ilmu, 2004), hlm. 28.
[18] Hamka, Tasawuf
Perkembangan dan pemurniannya (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993), hlm.186.
[19] Hamka , Tasawuf
Modern (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 2.