Saling Belajar dan Berbagi

Edisi jalan - jalan

jalan - Jalan Bersama Sahabat SMK Di Baturaden

Perkuliahan

Salah Satu Diskusi Perkuliahan IAIN Ponorogo

Kajian Rutin

Kajian Rutin Epistemologi "LSIS" bersama sahabat DTNP IAIN Ponorogo

SMK ISS

Kegiatan KBM di SMK ISS Jatipurno

Kenangan Wisuda

Wisuda Pasca Sarjana UNUS 2013

Sunday 1 July 2012

Thariqah Modern Dalam Tinjauan Tasawuf


BAB I
PENDAHULUAN
A.      Latar Belakang
Di indonesia ada banyak macam-macam tarekat, tarekat sudah ada sejak dahulu bahkan sejak zaman Nabi. Dalam tarekat tercakup semua aspek ajaran islam, seperti salat, zakat, puasa, zihad, haji dan yang lainnya, ditambah pengalaman serta seorang syaikh.
Tarekat adalah salah satu jalan yang ditempuh oleh orang dalam usahanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Orang yang masuk tarekat ingin ibadahnya lebih baik dari sebelumnya, walau kadang ada juga yang ibadahnya tetap bahkan lebih menurun karena ia beranggapan dia telah masuk tarekat dan ia akan selamat walau melakukan perbuatan yang salah.
Tapi dalam realitasnya orang yang masuk tarekat dengan yang belum masuk lebih banyak yang belum dan ibadahnya juga ada yang tertib da nada yang tidak tergantung dari masing-masing individu tersebut.
Cikal bakal tasawuf dan tarekat, benih-benih dan dasar ajarannya tak dapat dipungkirisudah ada sejak dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW. Hal ini dapat dilihat dalam perilaku dan peristiwa yang terjadi dalam hidup, dalam ibadah dan dalam pribadi Nabi Muhammad SAW. Cikal bakal itu semuanya berdasarkan Al-Qur’an dan Al-Hadits. Cikal bakal inilah yang diteruskan pengamalannya oleh Ahlul Bait, Khulafaur-Rasyidin, para sahabat yang lain, para Ahlus Shufah , para Salafus Shaleh, zaman tabi’in, tabi’it tabi’in sampai dengan zaman muta-akhirin sekarang ini.
Para Sufi dan Syekh-syekh Mursyid dalam tarekat, merumuskan bagaimana sistematika, jalan, cara, dan tingkat –tingkat jalan yang harus dilalui oleh para calon sufi atau muri tarekat secara rohani untuk cepat bertaqarrub, mendekatkan diri kehadirat Allah SWT. Kenyataan dalam sejarah juga menunjukkan, bahwa peran serta aktif dari para sufi dan para tuan syekh, mursyid, adalah amat besar dalam dakwah islam dan dalam pembinaan umat, tidak hanya dalam bidang ibadah ubudiyah, tetapi meliputi seluruh aspek kehidupan perorangan, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pendapat yang menyatakan bahwa tasawuf dan tarekat itu menghambat kemajuan atau menyebabkan umat menjadi terbelakang adalah sangat keliru. Kenyataan juga membuktikan, sejak dahulu sampai sekarang, kemajuan pembangunan yang serba canggih buah dari ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK), tanpa dikendalikan oleh iman dan taqwa(IMTAQ), tidak hanya mengancam timbulnya kehancuran umat manusia. Dengan kata lain, kemajuan dalam bidang benda material tanpa diimbangi degan kemajuan pembinaan mental spiritual , akan menjurus kepada kehancuran menyeluruh. Maka dari fenomena di atas muncul istilah Thariqah Modern.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa Pengertian Thariqah ?
2.      Adakah dalil tentang Thariqat ?
3.      Bagaimana Sejarah Munculnya Thariqah ?
4.       Bagaimana hubungan Thariqah dengan Tasawuf  ?
5.      Bagaimana perkembangan Thariqat ?
6.      Adakah istilah Thariqat modern ?

























BAB II
THARIQAH MODERN DALAM TINJAUAN TASAWUF
A.      Pengertian Thariqah
Dari segi bahasa thariqah berasal dari bahasa arab thariqah  yang artinya jalan, keadaan, aliran dalam garis sesuatu.[1] Secara harfiah thariqah berarti jalan yang terang, lurus yang memungkinkan sampai pada tujuan dengan selamat. Di kalangan Muhaddisin thariqah digambarkan dalam dua arti yang asasi. Pertama menggambarkan sesuatu yang tidak dibatasi terlebih dahulu (lancar), dan kedua didasarkan pada sistem yang jelas dibatasi sebelumnya. Selain itu thariqah juga diartikan sekumpulan cara –cara yang bersifat renungan, dan usaha inderawi yang mengantarkan pada hakikat, atau sesuatu data yang benar.
Secara terminology, pemaknaan thariqah agak sulit dirumuskan dengan pas, karena pengertian thariqah ikut berkembang mengikuti perjalanan kesejarahan dan perluasan kawasan penyebarannya. Dari berbagai sumber klasik maupun kotemporer, nampaknya thariqah dapat dimaknai sebagai ”suatu sistem hidup bersama dan kebersamaan dalam keberagaman sebagai upaya spiritualisasi pemahaman dan pengalaman ajaran Islam menuju tercapainya ma’rifatullah.[2]
Harun Nasution mengatakan thariqah ialah jalan yang harus ditempuh seorang sufi dalam tujuan berada sedekat mungkin dengan Tuhan. Hamka mengatakan bahwa thariqah adalah perjalanan hidup yang harus ditempuh di antara mahkluk dan khaliq.[3] Dalam ilmu tashawuf juga dikatakan bahwa syari’at itu merupakan peraturan, thariqah itu merupakan pelaksanaan sedangkan haqiqoh merupakan keadaan dan ma’rifat merupakan tujuan yang terakhir. Tentang bagaimana melaksanakannya untuk mencapai tujuan, kaum mutashwwifin antara satu dengan yang lain memiliki perbedaan.
Salah satunya, thariqah adalah jalan atau petunjuk dalam melaksanakan suatu ibadah sesuai  dengan ajaran yang dibawa oleh Rasulullah SAW, dan yang dicontohkan oleh beliau dan para sahabatnya serta Tabi’in, Tabi’it Tabi’in dan terus bersambung hingga kepada para Guru-guru, Ulama’, Kyai-kyai secara bersambung hingga sekarang ini (para Ulama’ Mutashawwifin).[4]
      Dengan memperhatikan berbagai pendapat diatas, kiranya dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan thariqah adalah jalan yang bersifat spiritual bagi seorang sufi yang didalam nya berisi amalan ibadah dan lainnya yang bertemakan menyebut nama Allah dan sifat-sifatnya disertai penghayatan yang mendalam. Amalan dalam thariqah ini ditujukan untuk memperoleh hubungan sedekat mungkin (secara rohaniah) dengan Tuhan.[5] Ada juga yang memberikan definisi bahwa Thariqah adalah suatu metode atau cara yang harus ditempuh seorang salik (orang yang meniti kehidupan sufistik) , dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah. Metode ini semula dipergunakan oleh seorang sufi besar dan kemudian diikuti oleh murid – muridnya sebagaimana madzhab – madzhab dalam bidang fiqih dan firqah – firqah dalam bidang kalam pada perkembangan berikutnya membentuk suatu jam’iyah organisasi yang disebut thariqah.
                        Thariqah modern sebenarnya pada dasarnya adalah sama dengan thariqah pada umumnya utamanya dalam segi tujuan. Dalam beberapa rujukan penulis tidak menemukan istilah thariqah modern namun yang mendekati dengan istilah tersebut adalah pemikiran Hamka yang  pernah menulis buku yang berjudul Tasawuf Modern. Sekilas, judul tersebut memang menarik, karena adanya tasawuf modern mengesankan adanya tasawuf kolot. Hanya saja, kalau kita baca buku tersebut, yang dimaksud dengan istilah “Tasawuf Modern” adalah semacam suatu pandangan kesufian yang relevan dengan kehidupan modern. Jadi, tasawuf modern berseberangan dengan sufisme tradisional atau sufisme populer (popular sufism), yang contohnya dapat kita saksikan pada praktik ziarah kubur ke makam dan bahkan mengagung-agungkan orang yang dianggap sebagai wali. Karena itu, ketika Hamka menyebut tasawuf modern, maksudnya adalah lepas dari praktik-praktik semacam itu. Hamka tidak memahami tasawuf sebagaimana gerakan tarekat dan sufistik pada umumnya. Tasawuf model Hamka ini menandingi tasawuf tradisional yang seakan cenderung membawa bibit-bibit ke-bid’ah-an, khurafat, dan kesyirikan. Sementara Hamka adalah ulama modernis (Mujaddid) yang begitu anti dengan hal-hal tersebut. Dengan demikian, dapat dikatakan, corak tasawuf Hamka adalah tasawuf pemurnian. Adanya istilah modern mengandung maksud bahwa bagaimana dalam kehidupan yang serba modern ini mengaktualisasikan pemikiran – pemikaran dan tujuan thariqah dalam setiap jiwa, maka bisa di sebutkan bahwa thariqah modern hanyalah sebuah istilah yang mana pada intinnya sama dengan ajaran dan tujuan thariqah pada umumnya hanya saja Istilah modern adalah bagaimana mereaktualisasikan konsep pemikiran dan doktrin thariqat diselaraskan dengan perubahan tata nilai dan peradaban modern  

B.       Dalil Thariqah
1.      Dalil Al – Qur’an
Didalam al-Quran pun kata thariqah muncul dalam konteks dzikrullah sebagai aktualisasi tauhid yang sempurna. Setelah Allah menjanjikan karunia yang banyak kepada orang-orang yang istiqamah di atas thariqah, Allah langsung memberikan ancaman siksa yang sangat pedih kepada orang yang tidak mau berdzikir kepada-Nya sebagaimana dalam
Q.S Al – Jin Ayat 16 – 17 :
Èq©9r&ur (#qßJ»s)tFó$# n?tã Ïps)ƒÌ©Ü9$# Nßg»oYøs)óV{ ¹ä!$¨B $]%yxî ÇÊÏÈ   ÷LàioYÏGøÿuZÏj9 ÏmŠÏù 4 `tBur óÚ̍÷èム`tã ̍ø.ÏŒ ¾ÏmÎn/u çmõ3è=ó¡o $\/#xtã #Yyè|¹ ÇÊÐÈ  
Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan Lurus di atas jalan itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air yang segar (rezki yang banyak). Untuk Kami beri cobaan kepada mereka padanya. dan Barangsiapa yang berpaling dari peringatan Tuhannya, niscaya akan dimasukkan-Nya ke dalam azab yang Amat berat.
Ibn al-Qayyim al-Jauziyah dalam kitabnya Madarij al-Salikin mengutip perkataan Abu Bakar al-Shiddiq r.a. ketika menyingung ayat tersebut. Sahabat agung ini pernah ditanya mengenai maksud al-istiqamah ala al-thariqah dan ia menjawab, “hendaknya engkau tidak menyekutukan Allah dengan sesuat (an la tusyrika billahi syay-an).” Jadi, kata Ibn al-Qayyim, yang dimaksud (al-istiqamah ‘ala al-thariqah) oleh Abu Bakar al-Shiddiq r.a. adalah al-istiqamah ala mahdhi al-tauhid konsisten di atas tauhid yang murni artinya, thariqah dalam ayat tersebut adalah”jalan menuju tauhid yang murni”. Tauhid yang murni ini pulalah yang menjadi tujuan syekh-syekh tarekat sebagaimana yang ditegaskan oleh Ibn Taimiyah. Tauhid inilah yang dibawa oleh para rasul dan kitab-kitab Allah dan yang diisyaratkan oleh syeikh-syeikh tarekat dan pakar-pakar agama
2.      Dalil Hadis
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh sahabat Abdullah bin Mas’ud di dalam menerangkan dekatnya Rosulullah SAW. yang artinya;”Ketika para sohabat R.A  mendengar pisahnya dengan beliau Rosulullah  SAW. dari dunia ini , maka mereka menjerit dan menangis seraya mereka berkata: Wahai Rosulullah SAW, Engkau utusan kepada kita dan mengukuhkan perkumpulan kita dan menjadi pusat urusan-urusan kita, ketika Engkau meninggalkan kita, maka siapa kita kembali ?. Jawab “Beliau Rosulullah SAW.” Aku telah meninggalkan untuk kamu sekalian 2(dua) pusaka yaitu : Al-Mahajjah , yakni syari’at islammiah dan Ath-Thoriqotil-Baidlo’ yakni Thoriqoh yang bersih yang muttasil sanadnya bi – Rosulillah SAW.
Dan Aku (Nabi Muhammad .) telah meninggalkan pula untukmu 2 petunjuk yaitu : Petunjuk yang dapat berbicara yaitu Al-Qur’an. Petunjuk yang tidak dapat berbicara yaitu maut.[6]
3.      Dalil Menurut Ijma’ Ulama’
mam Malik RA. Berkata dalam kitab Tanwirul Qulub halaman 408.
مَنْ تَشَرَّعَ وَلَمْ يَتَحَقَّقْ فَقَدْ تَفَسَّقَ وَمَنْ تَحَقَّقَ وَلَمْ يَتَسَرَّعْ فَقَدْ تَزَنْدَقَ وَمَنْ جَمَعَ بَيْنَهُمَا فَقَدْ تَحَقَّق
Artinya: Barang siapa melaksanakan syari’at tanpa di sertai thoriqoh hukumnya adalah fasiq, dan barang siapa hanya melakukan toriqoh saja tanpa disertai dengan syari’at hukumnya adalah kafir zindiq, dan barang siapa yang melakukan kedua-duanya (syari’at dan thoriqoh) maka dia akan sampai pada derajat hakikat (WhusululilaAllah).
قَالَ الشَّيْخُ نَجْمُ الدِّيْنِ اَلْكِبْرِىْ : اَلشَّرِيْعَةُ كَالسَّفِيْنَةِ وَالطَّرِيْقَةُ كَاْلبَحْرِ وَلْحَقِيْقَةُ كَالدُّرّ ِفَمَنْ أَرَادَ الدُّرّ َرَكِبَ ِفيْ السَّفِيْنَةِ ثُمَّ شَرَعَ ِفيْ اْلبَحْرِ ثمُ َّوَصَلَ ِالىَ الدُّرّ ِفَمَنْ تَرَكَ هٰٰذَا التَّرْتِيْبَ َلا يَصِلُ اِلىَ الدُّر ِ
Artinya: Syari’at itu bagaikan perahu, thoriqoh bagaikan laut dan hakikat itu bagaikan intan/permata yang berada di tengah lauatan, barang siapa mengiginkan intan permata itu maka dia harus naik perahu dan berlayar ke tengah lautan kemudian menyelam ke dasar laut, maka dengan cara itulah dia akan menemukan intan permata. Dan barang siapa meninggalkan urutan/tata cara ini maka dia tidak akan sampai dan tidak akan menemukan sebuah intan/permata.
Diterangkan dalam kitab Jamiul Ushul Fil Auliya’ Wa Anwa’ihim hal. 75-76.
Melakukan thoriqoh harus dibimbing oleh guru yang disebut Mursyid atau Syekh, tidak bisa sembarangan. Syekh inilah yang bertanggung jawab terhadap murid-muridnya. Ia mengawasi murid-muridnya dalam kehidupan lahiriyah serta rohaniyah. Bahkan seorang Syekh adalah sebagai perantara (robithoh) antara murid dengan Tuhan dalam beribadah. Karena itu seorang Syekh haruslah sempurna suluk-nya dalam ilmu syari’at dan hakikat menurut Al-Qur’an, Hadits, dan Ijma’.[7]

C.            Sejarah Timbulnya Tarekat
Peralihan tasawuf yang bersifat personal pada tarekat yang bersifat lembaga tidak terlepas dari perkembangan dan perluasan tasawuf itu sendiri. Semakin luas pengaruh tasawuf, semakin banyak pula orang berhasrat mempelajarinya. Seorang guru tasawuf biasanya memformulasikan suatu sistem pengajaran tasawuf berdasarkan pengalamannya sendiri. Sistem pengajaran itulah yang kemidian menjadi ciri khas bagi suatu tarekat yang membedakannya dari tarekat yang lain.[8]
Teori lain sejarah kemunculan tarekat dikemukakan oleh Jhon O. Voll. Ia mejelaskan bahwa penjelasan mistis terhadap Islam muncul sejak awal sejarah islam, dan para sufi yang mengembangkan jalan-jalan spiritual personal mereka dengan melibatkan praktik-praktik ibadah, pembacaan kitab suci, dan kepustkaan tentang keshalehan. Para sufi ini kadang-kadang terlibat konflik dengan otoritas-otoritas dalam komunitas islam dan memberikan alternatif terhadap orientasi yang lebih bersifat legalistik, yang disampaikan oleh kebanyakan ulama. Namun, para sufi secara bertahap menjadi figur-figur penting dalam kehidupan keagamaan dikalangan penduduk awam dan mulai mengumpulkan kelompok-kelompok pengikut diidentifikasi dan diikat bersama oleh jalan taswuf khusus (tarekat) sang guru. Mejelang abad ke-12 M (ke-5 H), jalan-jalan ini mulai menyediakan basis bagi kepengikutan yang lebih permanen, dan tarekat-tarekat sufi pun muncul sebagai organisasi sosial utama dalam komunitas islam.[9]
Pada awal kemunculannya, tarekat berkembang dari dua daerah, yaitu Khurasan (Iran) dan Mesopotamia (Irak). Pada priode ini mulai timbul beberapa, diantaranya tarekat Yasafiah yang didirikan oleh Ahmad al-Yasafi (w. 562 H/1169 M), tarekat Khawajagawiyah yang disponsori oleh Abd al-Khaliq al-Ghzudawani (w. 617 H/1220 M), tarekat Naksabandiyah, yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin an-Naksabandi al-Awisi al-Bukhari (w. 1389 M) di Turkistan, tarekat Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khalwati (w. 1397 M). Karena banyaknya cabang-cabang tarekat yang timbul dari tiap-tiap tarekat induk, sangat sulit untuk menelusuri sejarah perkembangan tarekat itu se cara sistematis dan konsepsional. Akan tetapi yang jelas sesuai dengan penjelasan Harun Nasution, cabang-cabang itu muncul sebagai akibat tersebarnya alumni suatu tarekat yang mendapat ijazah tarekat dari gurunya untuk membuka perguruan baru sebagai perluasan dari ilmu yang diperolehnya. Alumni tadi meninggalkan ribat gurunya dan membuka ribat baru didaerah lain. Dengan cara ini, dari satu ribat induk kemudian timbul ribat cabang tumbuh ribat ranting dan seterusnya, samapi tarekat itu berkembang keberbagai dunia islam.[10] Namun, ribat-ribat tersebut tetap mempunyai ikatan kerohanian, ketaatan, dan amalan-amalan yang sama dengan syekhnya yang pertama. Dalam seluruh tarekat terdapat kegiatan ritual sentral yang melibatkan pertemuan-pertemuan kelompok secara teratur untuk melakukan pembacaan do’a, syair dan ayat-ayat pilihan dari Al-Qur’an.

D.           Hubungan Tarekat dengan Tasawuf
Didalam ilmu tasawuf, istilah tarekat tidak saja ditujukan kepada aturan dan cara-cara tertentu yang digunakan oleh seorang syekh tarekat dan bukan pula terhadap kelompok yang menjadi pengikut salah seorang syekh tarekat, tetapi meliputi segala aspek ajaran yang ada didalam agama Islam, seperti shalat, puasa, zakat, haji, dan sebagainya, yang semua itu merupakan jalan atau cara mendekatkan diri kepada Allah.[11]
Sebagaimana telah diketahui bahwa tasawuf itu secara umum adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah dengan sedekat mungkin, melalui penyesuaian rohani dan memperbanyak ibadah. Usaha mendekatkan diri ini biasanya dilakukan dibawah bimbimngan seoang guru atau syekh. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf adalah usaha mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan tarekat adalah cara dan jalan yang ditempuh seseorang dalam usahanya mendekatkan diri kepada Allah. Gambaran ini menunjukkan bahwa tarekat adalah tasawuf yang telah berkembang dengan beberapa variasi tertentu, sesuai dengan spesifikasi yang diberikan seorang guru kepada muridnya.
Thariqah berakar dari pengalaman seorang sufi-ahli tasawuf- dalam mengajarkan ilmunya kepada orang lain, pengajaran mana kemudian dikembangkan pengikutnya. Oleh karena itu, dalam perkembangannya kemudian, thariqah terkait erat dengan nama guru tasawuf itu. Dalam pengertian ini, maka penanaman satu thariqah diambil dari nama pemimpin kelompok belajar itu. Berdasarkan pemaknaan thariqah tadi, terlihat bahwa lembaga thariqah salah satu betuk kelanjutan usaha para sufi terdahulu dalam menyebarluaskan tasawuf sesuai pemehamannya. Dalam ilmu tasawuf, kata thariqah diartikan sebagai “cara sufi” mendekatkan diri kepada Allah yang disebut thuruq as suffiyah. Sedangkan dalam thariqah, kata ini dimaknai sebagai trade mark seorang sufi.[12]
 Peralihan tasawuf sebagai ilmu praktis dan bersifat perorangan ke thariqah sebagai lembaga, terkait dengan perkembangan tasawuf dan perluasan tasawuf itu sendiri. Dengan semakin banyak tersosialisasikannya tasawuf, maka semakin banyak pula orang yang ingin belajar tasawuf. Para peminat tasawuf itu mendatangi orang yang dinilai memiliki otoritas dalam tasawuf untuk menuntun mereka belajar dari seorang guru yang menguasai sistem pembelajaran yang disusun berdasarkan pengalaman dalam satu bidang ilmu terapan. Oleh karena itu bertemunya dua kebutuhan itulah kemudian seorang guru tasawuf memformulasikan sistem pembelajaran tasawuf yang memuat beberapa unsur dasar. Sistem pembelajaran itu kemudian menjadi hak paten bagi satu thariqah dan sekaligus pembeda dari thariqah-thariqah lainnya.
Guru dalam thariqah yang sudah melembaga itu selanjutnya disebut Mursyid atau Syeikh dan wakilnya disebut Khalifah. Adapun pengikutnya disebut Murid. Sedangkan tempatnya disebut rithbah atau zawiyah atau taqiyah.[13] Dan thariqah itu merupakan jalan yang harus dilalui untuk mendekatkan diri kepada allah, maka orang yang menjalankan thariqah itu harus menjalankan syari’at dan si murid harus  memenuhi unsur-unsur berikut:
a.         Mempelajari ilmu pengetahuan yang berkaitan dengan syariat agama
b.        Mengamati dan berusaha semaksimal mungkin untuk mengikuti jejak dan guru; dan melaksanakan perinthnya dan menjahi larangannya.
c.         Tidak mencari-cai keinginan dalam beramal agar tercapai kesempurnaan yang hakiki
d.        Berbuat dan mengisi waktu seefisien mungkin dengan segala wirid dan doa guna pemantapan dan kekhususan dalam mencapai maqomat yang lebih tinggi
e.         Mengekang hawa nasfsu agar terhindar dari kesalahan yang dapat menodai amal.
Ciri-ciri thariqah tersebut merupakan cirri pada umumnnya dianut setiap kelompok, sedangkan dalam bentuk amal dan wiridnya berbeda-beda. Sebagai contoh dapat dikemukakan masalah dzikrullah, dzikir mengingat Allah. Ada thariqoh yang memiliki dzikir-dzikir tertentu dengan caranya sendiri-sendiri. Missalnya ada yang berdzikir dengan bersuara atau yang disebut dzikir lisan. Ada dzikir yang diucapkan dalam hati yang dinamakan dzikrul qolbi dan ada juga dzikrullah yang diucapkan secara rahasia yang dinamakan dzikir sir.
Pada umumnya dzikir lisan itu berupa lafadz “laailaaha ilallah”, dzikir qolbi berbunyi “Allah” dan dzikir sir berbunyi ”hu” yang artinya dia yaitu Allah. Ada dzikir yang diucapkan secara bersama-sama, ratib, baik diiringi dengan tabuhan, duf, maupun diiringi dengan nyanyian, tari-tarian, menurut irama dzikir, dengan tarikan nafas, langgam suara atau gerak badan tertentu.
Dari macam-macam pelaksanaanya baik dari tata cara berdzikir, bentuk wirid atau tata cara lainnya, ada pula yang melalui tiga tingkatan yang sudah sangat terkenal yaitu takhalli, tahalli dan tajalli.
a.         Takhalli artinya membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, kekotoran hati dari maksiat lahir dan batin
b.         Tahalli artinya mengisi diri dengan sifat-sifat terpuji, menyinari hati dengan taat lahir dan taat batin
c.         Tajallli artinya merasakan persaan ketuhanan hingga mencapai kenyataan tuhan. Inilah maqom tertinggi dalam thoriqot yakni mencapai tajalli.
Selain cara itu, imam al-Ghozali mempunyai cara tersendiri dalam penguraiannya, namun memiliki kemiripan dngan uraian diatas. Beliau menggunakan istilah Mukhlikat dan Munjiyat sebagaimana dalam Kitab “Ihya’ Ulumuddin” Jus tiga dan empat, yaitu perbatan- perbuatan yang membinasakn harus disingkirkan dan perbuatan-perbuatan yang menyelematkan daa membawa manusia pada kebahagiaan harus dijalankan. Lalu beliau memberikan suatu latihan brtingkat yang disebut muqorobah dan muhasabah yadiri dari musyarrotoh, muroqobah,muhasabah, mujhadah dan mua’tabah yang kahirnya tercapailah mukhasyafah serta tersingkapnya hijab antara kholiq dan makhluk.[14]
Dengan demikian, thariqah mempunyai hubungan substansial dan fungsional dengan tasawuf. Thariqah pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang syeikh. Kelompok ini kemudian menjadi lembaga-lembaga yang mengumpul dan mengikat sejumlah pengikut dengan aturan-aturan sebagaimana disebutkan diatas. Ajaran tasawuf yang harus diamalkan dalam bimbingan seorang guru, itulah yang disebut sebagai thariqah. Dengan kata lain dapat dirumuskan bahwa tasawuf adalah seperangkat ilmu mendekatkan diri kepada Allah, sedangkan thariqah adalah suatu sistem untuk mendekatkan diri kepada Allah yang salah satu unsur pokoknya adalah ilmu tasawuf. Karena ajaran pokok thariqah adalah tasawuf, atau sebagian dari tasawuf, semakin jelas pula terlihat bahwa hubungan thariqah dan tasawuf adalah “hubungan simbiosis” hubungan yang saling mengisi dan memerlukan.



E.       Perkembangan Thariqah
1.    Perkembangan Thariqah secara Luas
Dari berbagai literature yang dirujuk (Hamka, Tasawuf-Perkembangan dan Pemurniannya, Nurul Islam, Jakarta, 1987: hlm.102), nampaknya Thariqah Taifuriyah adalah thariqah tertua. Thariqah ini berdiri pada abad ke IX di Persia yang mengembangkan tasawuf Abu Yazid al-Busthami al-Taifuriyah. Perkembangan nyata keberadaan thariqah adalah sekitar abad XII di dua daerah basis, yaitu di Khurasan (Persia) dan Mesopotamia (Irak). Thariqah yang bermunculan di daerah Khurasan beraliran tasawuf Abu Yazid, sedangkan thariqah yang berkembang di Mesopotamia berakar pada tasawuf Junaid al-Baghdadi. Pada era abad XII itu, di Khurasan berdiri thariqah Yasaviyah yang dipelopori oleh Ahmad al-Yasavi(w.1169) dan thariqah Khawajaganiyah yang didirikan oleh abdul Kholiq al-Ghazdawani(1220).[15]
Thariqah Yasviyah melebarkan sayapnya ke kawasan Turki dengan nama baru thariqah Bektashiyah diidentikan dengan nama pendirinya Muhammad Atha’ bin Ibrahim Hajji Bektash (w.1335). Thariqah ini cukup popular pada masa kekuasaan Sultan Murad I, karena thariqah itu memilikipasukan komando sebagai kekuatan inti kerajaan Turki Osmani, yang disebut ”Jennisari”. Thariqah Naqsyabandiyah adalah salah satu thariqah yang merupakan pengembangan dari thariqah Khawajaganiyah yang didirikan oleh Muhammad Bahauddin al-Naqsyaband al-Awisi al-Bukhari (w.1335). dalam perkembangan selanjutnya thariqah ini menyebar ke Turki, India, Indonesia dengan nama baru sesuai pendirinya di kawasan setempat.
Selain dari dua thariqah induk di atas, thariqah yang tergolong rumpun Khurasan masih banyak lagi yang berpengaruh dalam dunia thariqah, seperti thariqah Khalwatiyah yang didirikan oleh Umar al-Khawalti (w.1397). di kawasan Mesir thariqah ini didirikan oleh Ibrahim Ghulseni (1534) yang kemudian berganti nama thariqah Sammaniyah yang didirikan oleh Muhammad ibn abdul Karim al-Sammani (w.1775).  
Thariqah yang berasal dari rumpun Mesopotamia-Irak ajarannya berakar dari tasawuf Abdul Qasim al-Junaidi yang (w. 910) atau menganut paham tasawuf Abdul Qadir al-Jailani (w.1078). Thariqah Suhrawardiyah yang dirintis oleh Abu Hafs as Suhrawardi (w.1234), thariqah Kubrawiyah yang dipelopori Najamuddin Kubra (w.1221) cukup digemari di India dan Pakistan dan thariqah Maulawiyah yang yang didirikan oleh Jalaludin ar-Rumi (w.1273) berkembang baik di daerah Turki, adalah thariqah-thariqah besar yang mengacu pada tasawuf al-Junaidi. Thariqah Qadriyah yang dibangun oleh Muhyidin Abdul qadir al-Jailani di Irak, melebarkan ajaran tasawufnya melalui thariqah Shadziliyah yang didirikan oleh Nuruddin as-Shadzili (w.1258) dan thariqah Rifaiyah yang dirintis oleh Ahmad ibn Ali Ar-Rifa’I (w.1182). thariqah yang berasal dari rumpun Qadiriyah, tersebar luas di hamper seluruh negeri Islam. Thariqah Faridiyah yang mengilhami lahirnya thariqah Sanusiyah dan Idrisiyah di kawasan Afrika Utara, adlah thariqah-thariqah yang termasuk rumpun Qadiriyah yang berakar pada tasawuf Dzunan Nun Al-Mishri (w.860). thariqah Qadariyah masuk ke kawasan India atas jasa Muhammad al0Ghawath dengan mendirikan thariqah Ghawatiya sekitar tahun 1617.[16] Penyebaran itu hanyalah dalam segi jumlah tetapi tidak menyentuh aspek anutannya
2.    Thariqah yang Berkembang di Indonesia
Sebagai bentuk tasawuf yang melembaga, thariqah ini merupakan kelanjutan dari pengikut-pengikut sufi yang terdahulu. Perubahan tasawuf kedalam thariqah sebagai lembaga dapat dilihat dari perseorangannya, yang kemudian menjadi thariqah yang lengkap dengan symbol-simbol dan unsurnya sebagaimana disebutakan di atas.
Dari sekian banyak aliran thariqah tersebut terdapat sekurang-kurangnya enam aliran thariqah yang berkembang di Indonesia, yaitu thariqah Qadariyah, Rifaiyah, Nasqsyabanidiyah, Sammaniyah, Khalawatiyah, dan Khalidiyah.
a.         Thariqah Qadariyah
Thariqah Qadariyah didirikan oleh Syeikh Abdul Qadir Jaelani (1077-1166) dan ia sering pula disebut al-Jilli. Thariqah ini banyak tersebar di dunia Timur, Tiongkok, sampai pulau Jawa. Pengaruh thariqah ini cukup banyak meresap di hati masyarakat yang dituturkan lewat bacaan manaqib pada acara-acara tertentu. Naskah asli manaqib ditulis dalam bahasa Arab. Berisi riwayat hidup dan penaglaman sufi abdul Qadir Jaelani sebanyak 40 episode. Manaqib ini dibaca denagn tujuan agar mendapatkan berkah dengan sebab keramatnya.
b.      Thariqah Rifa’iyah
Thariqah Rifa’iyah didirikan oleh syaik Rifa’i. Nama lengkapnya adalah Ahmad bin Ali bin abbas. Meninggal di Umm Abidah pada tanggal 22 Jumadil Awal tahun 578 H. Bertepatan dengan tanggal 23 September tahun 1106M. Dan ada pula yang mengatakan bahwa ia meninggal pada bulan Rajab tahun512 H. Bertepatan dengan bulan November tahun 1118 M. Di Qaryah Hasan. Thariqah ini banyak tersebar di daerah Aceh, Jawa, Sumatera Baret, Sulawesi dan daerah-daerah lainnya.
c.       Thariqah Naqsyabandi
Adapun thariqah Naqsyabandi didirikan oleh Muhammad bin Bhauddin al-Uwaisi al-Bukhari (727-791 H). Ia biasa di sebut Naqsyabandi diambil dari kata nasqyaban yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikan lukisan tentang yang gaib-gaib.
Thariqah ini banyak tersebar di Sumatera, Jawa, maupun Sulawesi. Ke daerah Sumatera Barat, tepatnya daerah minangkabau, thariqah ini dibawa oleh Syaikh Ismail al-Khalidi al-Kurdi, sehingga dikenal dengan sebutan Thariqah Nasqsyabandiah al-Khalidiyah. Amalan thariqah ini tidak banyak dijelaskan ciri-cirinya.
d.      Thariqah Tsamaniyah
Thariqah Samaniyah didirikan oleh Yaikh Saman yang meninggal dalam tahun 1720 di Madinah. Thariqah ini banyak tersebar luas di Aceh, dan di Palembang dan daerah lainnya di Sumatera. Di Jakarta thariqah ini juga sangat besar pengaruhnya, terutama di daerah pinggiran kota, di daerah Palembang orang banyak yang membaca riwayat Syaikh Saman sebagai tawassul untuk mendapatkan berkah.
e.       Thariqah Khalwatiyah
Thariqah khalwatiyah didirikan oleh Zahiruddin (w. 1397 M) di Khurasan dan merupakan cabang dari thariqah Suharawadi yang didirikan oleh Abdul Qadir Shurawardi yang meninggal tahun 1168 M. Thariqah Khalawatiyah ini mula-mula tersiar di Banten oleh Syaikh Yusuf Al-Khalawati al-Makasari pada masa pemerintahan Sultan Ageng Tirtayasa.
Thariqah ini banyak pengikutnya di Indonesia, dimungkinkan karena suluk dari thariqah ini sangat sederhana dalam pelaksanaannya. Untuk membawa jiwa dari tingkat yang rendah ke tingkat yang lebih tinggi melalui tujuh tingkat, yaitu peningkatan dari nafsu amarah, lawwamah, mulhamah, muthmainnah, radhiyah, mardiyah dan nafsu kamilah.
f.        Thariqah Khalidiyah
Thariqah Khalidiyah adalah salah satu cabang dari thariqah Nasqyabandiyah di Turki, yang berdiri pada abad XIX. Pokok-pokok thariqah Khalidiyah dinbangun oleh Syaikh Sulaiman Zuhdi al-Khalidi. Thariqah in berisi tentang abad dan Zikir, tawassul dalam thariqah, adab suluk, tentang saik dan mawamnya , tentang ribath dan beberapa fatwa pendek dari Syaikh Sulaiman al-Zuhdi al-Khalidi mengenai beberapa persoalan yang diterima dari bermacam-macam daerah.
Thariqah ini banyak berkembang di Indonesia dan mempunyai Syaikh Khalifah dan Mursyid yang diketahui dari beberapa surat yang berasal dari Banjarmasin dan daerah-daerah lain yang dimuat dalam kitab kecil yang berisi fatwa Sulaiman az-Zuhdi Al-Khalidi.

F.       Istilah Thariqah Modern
Sebagaimana di jelaskan dalam pengertian di atas bahwa Thariqah modern hanyalah sebatas Istilah jadi yang hendak di maksud menurut pemahaman penulis bagaimana mengaktualisasikan ajaran – ajaran thariqah yang di pahaminya dalam kehidupan yang modern sekarang ini. Kemudian andaikan disebutkan tokoh – tokoh thariqah modern sangat sulit menemukan tulisan yang menguraikan Istilah tersebut. Adanya Tasawuf modern padahal kalau kita pahami antara Thariqah dan Tasawuf secara teori berbeda namun keduanya saling berhubungan dan berkesinambungan sebagaimana keterangan di atas. Tanpa maksud untuk mencampur aduk antara thariqah dan tasawuf pada pembahasan Thariqah modern ini penulis cenderung mengikut pada istilah tasawuf modern. Diantara tokohnya adalah
1.         Muhammad Iqbal
Muhammad Iqbal berpendapat bahwa selain mendukung pola hidup sufistik, juga memberikan pencerahan pemahaman kesufian dengan spirit jihad yang aktif dan dinamis. Ia menggugah umat Islam untuk tampil melepaskan keterbelakangan dan dominasi bangsa barat. Menurutnya sufisme islam sebenarnya memiliki spirit yang dinamis, aktif dan aktual.[17]
2.         Hamka
Pemikirannya bagaimana mereaktualisasikan konsep pemikiran dan doktrin tasawuf diselaraskan dengan perubahan tata nilai dan peradaban modern yang di munculkan dalam gagasannya “Tasawuf Modern”. Menurut Hamka, sebenarnya kehidupan sufistik itu lahir bersama dengan lahirnya agama Islam itu sendiri karena ia tumbuh dan berkembang dari pribadi pembawa Islam (Nabi Muhammad) sebagaimana yang telah dipraktekkan oleh Nabi dan Sahabatnya bahwa tasawuf Islam sangat dinamis. Para Ulama’ terkemudian – Lah yang membawa praktek kehidupan sufisme menjauhi kehidupan dunia dan masyarakat.[18] Pengertian sufisme menurut Hamka bukan membenci dunia, meninggalkan kehidupan umum, dan membelakangi masyarakat. Melainkan memperteguh jiwa dan memperkuat pribadi dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah. Sufisme murni tidak lari dari gelombang kehidupan, melainkan menghadapi kehidupan dan lebur dalam masyarakat. Mendekatkan diri kepada Allah tidak mesti selalu di Masjid atau ditempat – tempat sunyi. Bagi hamka Sufisme akan tetap cocok dan sesuai dengan perkembangan Zaman karena sufisme adalah dimensi kerohanian islam dan aktifitas spiritual bukan sekedar kegiatan fisik. Menurutnya agar jiwa manusia sehat maka ia harus senantiasa bergaul dengan orang – orang yang budiman, membiasakan diri untuk selalu berfikir, menahan syahwat dan marah, bekerja dengan teratur dan selalu memeriksa cita – cita diri. [19]
3.         Sayyed Husen Nasr
Menurutnya adanya dominasi peradaban barat dan kemajuan iptek ternyata tidak menjamin kebahagiaan batin. Hal ini kemudian yang menyebabkan terjadinya gerakan – gerakan spiritualisme memunculkan banyak aliran thariqat dan lahirnya thariqat – thariqat baru.

















BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Dari berbagai uraian di atas dapat di simpulkan :
1.      Thariqah adalah suatu metode atau cara yang harus ditempuh seorang salik (orang yang meniti kehidupan sufistik) , dalam rangka membersihkan jiwanya sehingga dapat mendekatkan diri kepada Allah. Metode ini semula dipergunakan oleh seorang sufi besar dan kemudian diikuti oleh murid – muridnya sebagaimana madzhab – madzhab dalam bidang fiqih dan firqah – firqah dalam bidang kalam pada perkembangan berikutnya membentuk suatu jam’iyah organisasi yang disebut thariqah.
2.      Bahwa dalil thariqah walaupun secara tekstual tidak disebutkan secara jelas dalam sumber hukum islam namun demikian jika dikaji secara mendalam secara kontekstul terdapat dalil yang shorih baik dalam al – quran, hadis maupun ijtihad ulama’
3.      Secara sosiao historis bahwa kemunculan Thariqah tampak lebih dari sekedar tuntutan sejarah dan latar belakang yang cukup beralasan baik secara sosiologis maupun politis pada waktu itu. Yang mana kemunculannya paling tidak disebabkan oleh dua faktor yautu faktor kultural struktural.
4.      Thariqah mempunyai hubungan substansial dan fungsional dengan tasawuf. Thariqah pada mulanya berarti tata cara dalam mendekatkan diri kepada Allah dan digunakan untuk sekelompok yang menjadi pengikut bagi seorang syeikh. Sedangkan thariqah adalah suatu sistem untuk mendekatkan diri kepada Allah yang salah satu unsur pokoknya adalah ilmu tasawuf. Karena ajaran pokok thariqah adalah tasawuf, atau sebagian dari tasawuf, semakin jelas pula terlihat bahwa hubungan thariqah dan tasawuf adalah “hubungan simbiosis” hubungan yang saling mengisi dan memerlukan.
5.      Dalam perkembangannya Tahriqah mengalami berbagai bentuk perkembangan dan istilah baik dalam arti luas maupun dalam arti yang sempit termasuk salah satu bentuk dari perkembangan itu adalah adanya istilah thariqah modern
6.      Istilah thariqah modern sebenarnya secara substansi adalah sama sebagaimana ajarah thariqah dari pengertian awal baik secara ajaran maupun tujuan hanya saja istilah modern adalah bagimana mereaktualisasikan ajaran – ajaran thariqah dalam kehidupan di dunia modern

B.     KRITIK DAN SARAN
Demikian makalah ini penulis sampaikan. Tentunya masih terjadi berbagai kekurangan di berbagai hal. Harapan penulis mudah – mudahan makalah ini bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca pada umumnya. Kritik dan saran yang membangun dari semua pembaca dan pihak selalu penulis tunggu demi subuah kebaikan ke arah yang lebih baik.





























DAFTAR PUSTAKA

Al aziz Senali , Moh.Saifulloh. Tashawuf Dan jalan Hidup para Wali. Gresik: Putra Pelajar,2000.
Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurniannya.Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993.
Hamka , Tasawuf Modern.Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990.
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006,
Nata, Abuddin. Akhlak Tasawuf. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006,
Nasution, Harun .Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam,  Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Saran Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditb. baga Depag RI, 1986.
Siregar, A.Rivay Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002.
Proyek Pembinaan Pergiruan Tinggi Agama Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982.


















[1] Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf.(Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2006), hlm.269.
[2] A.Rivay Siregar, Tasawuf: dari Sufisme Klasik ke Neo-Sufisme.( Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), hlm.263.
[3] Abuddin Nata, op. Cit., hlm.270.
[4] Moh.Saifulloh Al aziz Senali, Tashawuf Dan jalan Hidup para Wali. (Gresik: Putra Pelajar,2000),hlm.32.
[5] Abuddin Nata, op cit .,hlm.270-271.
[9] Jhon O. Voll, “Tarekat-Tarekat Sufi ”., hlm. 215
[10] Harun Nasution, “Perkembangan Ilmu Tasawuf di Dunia Islam ” Dalam Orientasi Pengembangan Ilmu Tasawuf, Proyek Pembinaan Prasarana Dan Saran Perguruan Tinggi Agama Islam/IAIN di Jakarta Ditb. baga Depag RI, 1986, hlm. 24.
[11] Proyek Pembinaan Pergiruan Tinggi Agama Sumatera Utara, Pengantar Ilmu Tasawuf, 1981/1982, hlm. 273.
[12] A.Rivay Siregar, op cit., hlm.264.

[13] Abuddin Nata, op cit., hlm. 271.

[14] Moh.Saifulloh Al aziz Senali, op cit., hlm.33-34.

[15] A.Rivay Siregar, op cit ., hlm.266-267.

[16] Ibid.,hlm. 268.

[17] Kharisudin Aqib, Al Hikmah Memahami Teosofi Tarekat Qadariyah wa Naqsyabandiyah (Surabaya : PT.Bina Ilmu, 2004), hlm. 28.
[18] Hamka, Tasawuf Perkembangan dan pemurniannya (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1993), hlm.186.
[19] Hamka , Tasawuf Modern (Jakarta : Pustaka Panjimas, 1990), hlm. 2.