Saling Belajar dan Berbagi

Edisi jalan - jalan

jalan - Jalan Bersama Sahabat SMK Di Baturaden

Perkuliahan

Salah Satu Diskusi Perkuliahan IAIN Ponorogo

Kajian Rutin

Kajian Rutin Epistemologi "LSIS" bersama sahabat DTNP IAIN Ponorogo

SMK ISS

Kegiatan KBM di SMK ISS Jatipurno

Kenangan Wisuda

Wisuda Pasca Sarjana UNUS 2013

Wednesday 20 June 2012

PENGEMBANGAN SDM


PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA BERBASIS KOMPETENSI SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KINERJA ORGANISASI


ABSTRAK
Peranan manusia dalam organisasi sangat penting. Seiring tuntutan teknologi dan persaingan dunia usaha, maka kompetensi sumber daya manusia dalam organisasi harus dapat dioptimalkan melalui pelatihan dan pengembangan karyawan yang berbasis kompetensi. Hal ini memberikan dampak yang positif ketika SDM yang kompeten mampu membawa keberhasilan pribadinya pada peningkatan kinerja organisasi. Pengembangan manusia dalam organisasi memberikan kualitas dan kemampuan kerja yang akan berdampak pada peningkatan kinerja organisasi.

PENDAHULUAN
            Keberadaan sumber daya manusia dalam suatu organisasi merupakan aset yang berharga bagi organisasi itu sendiri. Keberhasilan suatu organisasi ditentukan dari kualitas orang-orang yang berada di dalamnya. SDM akan bekerja secara optimal jika organisasi dapat mendukung kemajuan karir mereka dengan melihat apa sebenarnya kompetensi mereka. Biasanya, pengembangan SDM berbasis kompetensi akan mempertinggi produktivitas karyawan sehingga kualitas kerja pun lebih tinggi pula dan berujung pada puasnya pelanggan dan organisasi akan diuntungkan.
            Pengembangan SDM berbasis kompetensi dilakukan agar dapat memberikan hasil sesuai dengan tujuan dan sasaran organisasi dengan standar kinerja yang telah ditetapkan. Kompetensi yang dimiliki seorang karyawan secara individual harus dapat mendukung pelaksanaan visi misi organisasi melalui kinerja strategis organisasi tersebut. Oleh karena itu kinerja individu dalam organisasi merupakan jalan dalam meningkatkan poduktivitas organisasi itu sendiri.

PENGERTIAN SDM
            Sumber daya manusia adalah kemampuan terpadu dari daya pikir dan daya fisik yang dimiliki individu, perilaku dan sifatnya ditentukan oleh keturunan dan lingkungannya, sedangkan prestasi kerjanya dimotivasi oleh keinginan untuk memenuhi kepuasannya. Sumber daya manusia merupakan aset dalam segala aspek pengelolaan terutama yang menyangkut eksistensi organiasi.
Sumber daya manusia atau biasa disingkat menjadi SDM merupakan potensi yang terkandung dalam diri manusia untuk mewujudkan perannya sebagai makhluk sosial yang adaptif dan transformatif yang mampu mengelola dirinya sendiri serta seluruh potensi yang terkandung di alam menuju tercapainya kesejahteraan kehidupan dalam tatanan yang seimbang dan berkelanjutan. Dalam pengertian praktis sehari-hari, SDM lebih dimengerti sebagai bagian integral dari sistem yang membentuk suatu organisasi. Oleh karena itu, dalam bidang kajian psikologi, para praktisi SDM harus mengambil penjurusan industri dan organisasi.
Mengenai perkembangan Sumber Daya Manusia dalam suatu organisasi, Greer menyatakan bahwa :
Dewasa ini, perkembangan terbaru memandang SDM bukan sebagai sumber daya belaka, melainkan lebih berupa modal atau aset bagi institusi atau organisasi. Karena itu kemudian muncullah istilah baru di luar H.R. (Human Resources), yaitu H.C. atau Human Capital. Di sini SDM dilihat bukan sekedar sebagai aset utama, tetapi aset yang bernilai dan dapat dilipatgandakan, dikembangkan (bandingkan dengan portfolio investasi) dan juga bukan sebaliknya sebagai liability (beban,cost). Di sini perspektif SDM sebagai investasi bagi institusi atau organisasi lebih mengemuka.

        Berdasarkan hal di atas, maka SDM memegang nilai yang sangat penting dalam manajemen keorganisasian. Meskipun teknologi banyak dilibatkan dalam roda organisasi, namun tetap saja organisasi memerlukan SDM sebagai daya penggerak dari sumber daya lainnya yang dimiliki oleh organisasi dalam bentuk apapun.


KOMPETENSI
            Kompeten adalah keterampilan yang diperlukan seseorang yang ditunjukkan oleh kemampuannya untuk dengan konsisten memberikan tingkat kinerja yang memadai atau tinggi dalam suatu fungsi pekerjaan spesifik. Kompeten harus dibedakan dengan kompetensi, walaupun dalam pemakaian umum istilah ini digunakan dapat dipertukarkan. Upaya awal untuk menentukan kualitas dari manajer yang efektif didasarkan pada sejumlah sifat-sifat kepribadian dan keterampilan manajer yang ideal. Ini adalah suatu pendekatan model input, yang fokus pada keterampilan yang dibutuhkan untuk mengerjakan suatu pekerjaan. Keterampilan-keterampilan ini adalah kompetensi dan mencerminkan kemampuan potensial untuk melakukan sesuatu. Dengan munculnya manajemen ilmiah, perhatian orang-orang berbalik lebih pada perilaku para manajer efektif dan pada hasil manajemen yang sukses. Pendekatan ini adalah suatu model output, dengan mana efektivitas manajer ditentukan, yang menunjukkan bahwa seseorang telah mempelajari bagaimana melakukan sesuatu dengan baik.
Terdapat perbedaan konsep tentang kompetensi menurut konsep Inggris dan konsep Amerika Serikat. Menurut konsep Inggris, kompetensi dipakai di tempat kerja dalam berbagai cara. Pelatihan sering berbasiskan kompetensi. Sistem National Council Vocational Qualification (NCVQ) didasarkan pada standar kompetensi. Kompetensi juga digunakan dalam manajemen imbalan, sebagai contoh, dalam pembayaran berdasarkan kompetensi. Penilaian kompetensi adalah suatu proses yang perlu untuk menyokong inisiatif-inisiatif ini dengan menentukan kompetensi-komptensi apa yang karyawan harus perlihatkan.
Pendapat yang hampir sama dengan konsep Inggris dikemukakan oleh Kravetz (2004), bahwa kompetensi adalah sesuatu yang seseorang tunjukkan dalam kerja setiap hari. Fokusnya adalah pada perilaku di tempat kerja, bukan sifat-sifat kepribadian atau keterampilan dasar yang ada di luar tempat kerja ataupun di dalam tempat kerja.
Kompetensi mencakup melakukan sesuatu, tidak hanya pengetahuan yang pasif. Seorang karyawan mungkin pandai, tetapi jika mereka tidak menterjemahkan kepandaiannya ke dalam perilaku di tempat kerja yang efektif, kepandaian tidak berguna. Jadi kompetensi tidak hanya mengetahui apa yang harus dilakukan. (http://deroe.wordpress.com/2007/10/05/kompeten-dan-kompetensi/)
            Menurut Spencer and Spencer (1993) Kompetensi didefinisikan sebagai Underlying characteristic’s of an individual which is causally related to criterion- referenced effective and or superior performance in a job or situation. Kompetensi merupakan karakteristik yang mendasari seseorang dan berkaitan dengan efektivitas kinerja individu dalam pekerjaannya.
            Secara general, kompetensi sendiri dapat dipahami sebagai sebuah kombinasi antara ketrampilan (skill), atribut personal, dan pengetahuan (knowledge) yang tercermin melalui perilaku kinerja (job behavior) yang dapat diamati, diukur dan dievaluasi. Dalam sejumlah literatur, kompetensi sering dibedakan menjadi dua tipe, yakni soft competency atau jenis kompetensi yang berkaitan erat dengan kemampuan untuk mengelola proses pekerjaan, hubungan antar manusia serta membangun interaksi dengan orang lain. Contoh soft competency adalah: leadership, communication, interpersonal relation, dll. Tipe kompetensi yang kedua sering disebut hard competency atau jenis kompetensi yang berkaitan dengan kemampuan fungsional atau teknis suatu pekerjaan. Dengan kata lain, kompetensi ini berkaitan dengan seluk beluk teknis yang berkaitan dengan pekerjaan yang ditekuni. Contoh hard competency adalah : electrical engineering, marketing research, financial analysis, manpower planning, dll.


PROGRAM PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN PEGAWAI
            Pelatihan dan pengembangan dapat didefinisikan sebagai usaha yang terencana dari organisasi untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan pegawai. Pelatihan dan pengembangan merupakan dua konsep yang sama, yaitu untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan kemampuan. Tetapi apabila dilihat dari sasarannya, pelatihan lebih ditekankan pada peningkatan kemampuan untuk melakukan pekerjaan yang spesifik pada saat ini, dan pengembangan lebih ditekankan pada peningkatan pengetahuan untuk melakukan pekerjaan pada masa yang akan datang, yang dilakukan melalui pendekatan yang terintegrasi dengan kegiatan lain untuk mengubah perilaku kerja.
            Terdapat beberapa keuntungan dengan dilakukannya pelatihan dan pengembangan bagi pegawai yang pada akhirnya akan membawa keuntungan bagi organisasi diantaranya :
1.             Mendorong pencapaian pengembangan diri pegawai
2.             Memberikan kesempatan bagi pegawai untuk berkembang dan memiliki pandangan tentang masa depan kariernya.
3.             Membantu pegawai dalam menangani konflik dan ketegangan.
4.             Meningkatkan kepuasan kerja dan prestasi kerja
5.             Menjadi jalan untuk perbaikan keterampilan dalam bersosialisasi dan berkomunikasi.
6.             Membantu menghilangkan ketakutan dalam mencoba hal-hal baru dalam pekerjaan
7.             Menggerakkan pegawai untuk mencapai tujuan-tujuan organisasi
Berdasarkan hal-hal di atas maka pelatihan dan pengembangan sumber daya manusia memberikan dampak yang baik terhadap kinerja pegawai tersebut sebagai individu. Hal ini jelas akan membawa peningkatan terhadap kinerja organisasi apabila pelatihan dan pengembangan pegawai dilakukan secara terencana dan berkesinambungan. Pengembangan SDM dirasakan sangat penting karena tuntutan pekerjaan yang sangat kompleks akibat kemajuan teknologi dan kompetisi diantara berbagai organisasi, sangat membutuhkan pengembangan pegawai yang baik.
Beberapa tujuan dari pengembangan pegawai diantaranya :
1.             Meningkatkan produktivitas kerja
2.             Meningkatkan efisiensi tenaga, waktu, bahan baku, dan mengurangi ausnya mesin-mesin
3.             Mengurangi tingkat kecelakaan pegawai
4.             Meningkatkan pelayanan yang lebih baik dari karyawan untuk konsumen perusahaan dan atau organisasi
5.             Menjaga moral pegawai yang baik
6.             Meningkatkan karier pegawai
7.             Meningkatkan kecakapan manajerial pegawai

PENGEMBANGAN SDM BERBASIS KOMPETENSI DALAM MENINGKATKAN KINERJA ORGANISASI
            Dalam mengungkap kinerja organisasi Nickson (2007:169) mengutip pendapat Armstrong mengenai yaitu :
            “Performance management is about getting better results from the organization, teams and individuals by understanding and managing performance within an agreed framework of planned goals, standards and competing requirements. It is a process for establishing shared understanding about what is to be achieved, and an approach to managing and developing people in a way which increases the probability that it will be achieved in the short and long term. It is owned and driven by management. “

            Berdasarkan pendapatnya di atas dapat dikatakan bahwa kinerja organisasi diperoleh dari pengelolaan berbagai tujuan, sasaran dan pengembangan sumber daya manusia di dalamnya dalam rangka mencapai tujuan baik jangka pendek maupun jangka panjang. Peran pimpinan dalam hal ini sangat dominan. Sejauh mana pimpinan menghendaki SDM organisasinya berkembang maka pimpinan tersebut memiliki kewenangan dalam mewujudkan pengembangan SDM melalui berbagai kegiatan pengembangan dan pelatihan sesuai dengan masing-masing kompetensi yang dimiliki pegawainya.
            Berbagai upaya pengembangan SDM hendaknya didukung oleh beberapa faktor diantaranya:
1.      Terdapat seleksi SDM yang baik untuk benar-benar menciptakan pegawai yang berkualitas
2.      Merancang keselarasan antara kebutuhan organisasi dan kemampuan pegawai
3.      Menyediakan sarana, prasarana dan teknologi yang sesuai untuk pengembangan pegawai
4.      Komitmen yang tinggi dari setiap elemen organisasi untuk melakukan pengembangan pegawai secara berkesinambungan.
Apabila daya dukung organisasi sudah dapat berjalan secara simultan maka pengembangan sumberdaya manusia berbasis kompetensi akan dapat memberikan dampak baik bagi peningkatan kinerja organisasi. Hal ini terjadi karena sumberdaya manusia yang berkembang secara kompeten merupakan suatu kondisi dimana seluruh elemen internal organisasi siap untuk bekerja dengan mengandalkan kualitas diri dan kemampuan yang baik.
Pada level tertentu dimana kondisi di atas sudah mampu tercipta dalam suatu organisasi maka kinerja individu organisasi menjadi cerminan bagi kinerja organisasi. Terdapat banyak tantangan dalam menciptakan situasi kondusif bagi organisasi untuk meningkatkan kinerjanya dan pengembangan SDM merupakan salah satu hal yang patut kian dilakukan. Organisasi yang menghendaki kinerja yang optimal dibutuhkan pula konsistensi dari manajemen mengenai pengelolaan pegawai yang baik dan proporsional serta menciptakan hubungan kerja yang efektif.

PENUTUP
Pengembangan SDM yang berbasis kompetensi dapat membantu organisasi untuk  memiliki sumber daya manusia yang kompeten dan handal dalam bekerja. Melalui berbagai kegiatan pengembangan dan pelatihan, kompetensi SDM akan lebih optimal dan berujung pada meningkatnya kinerja organisasi melalui penjabaran serta operasionalisasi visi dan misinya.




DAFTAR PUSTAKA
Alwi, Syafaruddin. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia : Strategi Unggulan Kompetitif. BPFE. Yogyakarta.
Greer, Charles R. 1995. Strategy and Human Resources: a General Managerial Perspective. New Jersey: Prentice Hall.
Hasibuan, Malayu. 2001. Manajemen Sumber Daya Manusia. Bumi Aksara. Jakarta.
Nickson, Dennis. 2007. Human Resources Management for The Hspitality and Tourism Industries. Elsevier. Burlington.
Ryllatt, Alastair, et.al, 1995. Creating Training Miracles. AIM. Australia.
Spencer, N.Lyle and Spencer, M. Signe. 1993. Competence at Work : Models for Superrior Performance. John Wily & Son,Inc. Mew York.


Saturday 16 June 2012

ARIF WIBOWO

SELAMAT DATANG DAN SALING BERBAGI SEMOGA MANFAAT

Friday 15 June 2012

REVIEW TENTANG RSBI (PP NOMOR 17 TAHUN 2010)


REVIEW TERHADAP TULISAN YUSUF FAHRURROZI TENTANG RINTISAN SEKOLAH BERTARAF INTERNASIONAL
(Analisis Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 2010)
Oleh : Arif Wibowo
A.      Pendahuluan
      
       Bangsa Indonesia saat ini tertinggal jauh dengan bangsa lain, baik dalam hal penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, serta kesejahteraan bangsanya. Jangankan untuk bersaing di tingkat Internasional, dalam lingkup regional saja bangsa Indonesia tertinggal dengan negara tetangganya .
     Maka dalam rangka mengatasi era Global, pemerints Indonesia memiliki kebijakan mengembangkan kualitas pendidikan agar SDM mempunyai kualitas yang tinggi. Mellenium Develpment Goals, (era pasar bebas) atau bisa juga disebut globalisasi yang semula dicanangkan tahun 2020 dipercepat menjadi 2015.[1] Maka salah satu upaya yang dilakukan pemerintah untuk mengejar ketertinggalan tersebut salah satunya melalui jalur pendidikan dengan mencetuskan program Sekolah  Bertaraf  Internasional (selanjutnya dibaca :SBI).
     Inti dari SBI adalah semakin tumbuhnya kesadaran akan pentingnya untuk terus belajar dan berefleksi serta berkembangnya pengetahuan dan kesadaran terhadap pendidikan demokratis dan mulltikultural. Guru dalam SBI didesain sebagai sosok yang sangat paham makna dari konsep pembelajaran ­deep – learning, higher order thingking skills, dan contextual learning. Kemajuan pada Siswa ditunjukkan dengan semakin tampaknya sikap kemandirian, tanggung jawab, kemampuan bekerja sama, kejujuran, toleransi, dan berani menghadapi resiko.
     Namun meskipun RSBI merupakan salah satu bentuk terobosan Depdiknas tak bisa di pungkiri ada beberapa hal yang cukup merisaukan dalam perkembangannya di Indonesia.

B.       Landasan Hukum Sekolah Bertaraf Internasional
1.    UU No. 20 Tahun 2003 tentang sisdiknas pasal 50 ayat (3) yang berbunyi  “pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang – kurangnya satu satuan pendidikan yang bertaraf Internasional.
2.    Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun  2010 pasal 1 No 35
Yang merupakan terjemahan dari istilah “satuan pendidikan yang bertaraf Internasional” dalam PP tersebut berbunyi : “Pendidikan Bertaraf Internasional adalah  Pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju”
Berbekal dari dua ayat itu maka Depdiknas segera mengeluarkan program Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yang proyek rintisannya (RSBI) saja telah menyertakan ratusan SMP dan SMA hampir di semua Kabupaten/ Kota  di seluruh Indonesia dengan menggelontorkan dana ratusan milyar.
Jika ditelusuri secara mendalam maka program RSBI ini sudah terdapat permasalahan sejak dari Undang-undangnya.  Mari kita lihat UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) berbunyi sbb : Pemerintah dan/atau pemerintah daerah menyelenggarakan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada semua jenjang pendidikan untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan yang bertaraf Internasional. Setidaknya  Ada 4 (empat) masalah yang muncul dari pasal ini
a.    Adanya ambiguitas dari istilah ‘Pemerintah dan/atau pemerintah daerah’ pada pasal tersebut. 
Jadi frase dan/atau ini bisa berarti :
Pemerintah dan Pemerintah Daerah = kedua-duanya
Pemerintah atau pemerintah Daerah = salah satunya
Jadi penyelenggara program SBI ini bisa salah satu atau kedua-duanya. Bagaimana sebenarnya konsep yang dikehendaki oleh Kemdiknas dalam masalah penyelenggaraan ini? Bisa salah satu (Pemerintah Pusat saja atau Pemerintah Daerah saja) atau mesti kedua-duanya (Pemerintah Pusat dan Pemda)
b.    Tidak jelasnya istilah ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’itu sendiri. Tidak jelas apa yang dimaksud dengan ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ tersebut. Definisi tentang ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ yang ada dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) tersebut yang kemudian diterjemahkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) No 17 tahun 2010 Pasal 1 No 35 menjadi :
“Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
Jadi frase ‘satuan pendidikan yang bertaraf internasional’ dalam UU Sisdiknas 2003 Pasal 50 ayat (3) kemudian dalam PP no 17 tahun 2010 ini telah berubah menjadi Pendidikan bertaraf internasional dan kemudian dijelaskan dengan tambahan keterangan Pendidikan bertaraf internasional adalah pendidikan yang diselenggarakan setelah memenuhi Standar Nasional Pendidikan dan diperkaya dengan standar pendidikan negara maju.”
c.    Ketidak-jelasan konsep yang hendak dikerjakan oleh Undang-undang ini. Sebenarnya apa yang dikehendaki oleh Pemerintah dengan adanya UU ini? Mengapa muncul istilah ‘Sekolah Bertaraf Internasional’? Bukankah maksud dari semua itu adalah agar Indonesia memiliki sekolah khusus bagi anak-anak yang memiliki tingkat kecerdasan tertentu atau yang disebut ‘the gifted and the most talented’ yang akan dapat dididik dan diberi proses pembelajaran yang sesuai dengan tingkat kecerdasan dan keberbakatan mereka? Lantas mengapa menggunakan istilah ‘Sekolah bertaraf Internasional’ yang seakan tidak punya landasan akademik
d.   Otoritas lingkup kerja Pemerintah (Kemdiknas) dalam menyelenggarakan program SBI atau RSBI
Sikap ini menimbulkan kerancuan dalam lingkup kerja pemerintah. Jika sekolah swasta masuk dalam lingkup kerjanya (dengan memasukkan mereka dalam program RSBI ini) maka sebenarnya beberapa kota besar telah memiliki pendidikan yang bertaraf internasional yang berstatus swasta karena sebenarnya sekolah-sekolah swasta inilah sebenarnya yang memulai adanya program ini dan memberi ide pada pemerintah untuk mengadopsinya ke sekolah publik. Jika sekolah swasta dapat dianggap sebagai ruang lingkup otoritas dan tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah maka sebetulnya pemerintah dan pemerintah daerah, utamanya di kota-kota besar, tidak perlu mengadopsinya ke sekolah (publik). Tugas dan tanggungjawab mereka telah terpenuhi dengan adanya sekolah swasta yang memiliki pendidikan yang bertaraf internasional.

C.       Mekanisme Implementasi Rintisan Sekolah Bertaraf Internasional
1.         Filosofi Dasar Penyelenggaraan RSBI
            Didasari filosofi eksistensialisme  dan esensialisme (fungsionalisme)
        filosofi eksistensialisme   berkeyakinan bahwa pendidikan harus menyuburkan dan mengembangkan eksistensi peserta didik seoptimal mungkin melalui fasilitas yang dilaksanakan melalui proses pendidikan yang bermartabat, pro – perubahan, kreatif, inovatif, dan eksperimentif, menumbuhkan dan mengembangkan bakat, minat dan kemampuan peserta didik.  Pendidikan harus berfungsi dan relevan dengan kebutuhan baik kebutuhan individu, keluarga, maupun kebutuhan berbagai sektor dan sub – sub sektornya, baik lokal , nasional maupun internasional. Terkait dengan tuntutan globalisasi pendidikan harus menyiapkan SDM yang mampu bersaing secara Internasionnal
        Filosofi  esensialisme berpandangan bahwa dalam proses belajar mengajar, peserta didik harus diberi perlakuan secara maksimal untuk mengaktualkan, mengeksiskan, menyalurkan semua potensinya, baik potensi (kompetensi) Intelektual (IQ), Emosional (EQ), dan Spiritual (SQ).
        Dalam mengaktualisasikan kedua filosofi tersebut empat pilar pendidikan yaitu : learning to know, learning to do, learning to live togethere and learning to be merupakan patokan berharga bagi penyelenggaraan pendidikan di Indonesia mulai dari kurikulum, guru, proses belajar mengajar, sarana dan prasarana, hingga sampai penilaiannya.  
        Namun pada kenyataannya tidak lah demikian, karena pendidikan itu mestinya berlaku untuk semua golongan dan yang mengembangkan seluruh kecerdasan tersebut tentu semua anak didik  di Indonesia dan seluruh aspek pendidik dan pendidikan dari semua elemen baik negri maupun swasta dan seandainya ada perhatian yang lebih tentu tanpa adanya diskriminasi baik secara katagori dan finansial
2.         Pendanaan RSBI
Proyek ini akan dibiayai oleh Pemerintah Pusat 50 %, Pemerintah Propinsi 30 %, dan Pemerintah Kabupaten/Kota 20 %. Kemudian pada tahab rintisan (RSBI) pemerintah mengeluarkan 300 juta rupiah setiap tahun paling tidak selama 3 (tiga) tahun.
3.         Sekilas KBM di RSBI
Jumlah siswa di kelas dibatasi antara 24 – 30 per kelas. Kegiatan belajar mengajar akan menggunakan bilingual dengan ketentuan :
Tahun ke
Prosentase bahasa pengantar

Indonesia
Prosentase
Pertama
75 %
25 %
Kedua
50 %
50 %
Ketiga
25 %
75 %
Siswa yang dapat masuk SBI katagori bibit unggul maka siswa diprioritaskan untuk belajar ilmu eksakta dan teknologi informasi dan komunikasi. Karenanya siswa di beri  fasilitas tambahan berupa komputer dengan sambungan internet.
4.         Kurikulum
Kurikulum yang dipakai rumusnya adalah SNP + X. SNP adalah Standar Nasional Pendidikan sedangkan X hanya disebut sebagai penguat, pengayaan, pengembangan, perluasan, pendalaman melalui adaptasi atau adopsi terhadap standar pendidikan baik dari dalam Negri maupun Luar negeri yang diyakini telah memiliki reputasi mutu yang diakui secara Internasional umpamanya cambridge, IB (International Baccalaureate), TOEFL/TOEIC, ISO, UNESCO.

D.      Keunggulan (Dampak Positif) RSBI
1.      Dengan pembelajaran yang bersifat interaktif dan inspiratif memotifasi peserta didik untuk berbartisipasi aktif, serta memberi ruang yang cukup bagi prakarsa, kreaktifitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik, serta psikologis peserta didik
2.      Penerapan pembelajaran berbasis TIK terlepas dari pengaruh negatif selama pengguna teknologi dapat memanfaatkan dengan benar dan tepat juga membawa pengaruh yang positif dan juga mempermudah administrasi
3.      Memotifasi para siswa untuk mampu bersaing dalam dunia global
E.       Kelemahan (Dampak Negatif) RSBI
       Ada beberapa hal yang dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan untuk mengkritisi kebijakan pemerintah tentang RSBI agar menjadi SBI dari berbagai sudup pandang baik dalam sudut pandang sosial, ekonomi, dan psikologis
1.    Sosial
RSBI akan melahirkan konsep pendidikan yang diskriminatif  (hanya diperunt
ukkan bagi siswa yang memiliki kemampuan / kecerdasan unggul) dan ekslusif  (pendidikan bagi anak orang kaya)
2.    Ekonomi
RSBI lebih cenderung menggunakan perencanaan pendidikan dengan pendekatan cost effectiveness adalah pendekatan yang menitik beratkan pemanfaaatan biaya secermat mungkin untuk mendapatkan hasil pendidikan yang seoptimal mungkin baik secara kuantitatif maupun kualitatif. Pendidikan ini hanya diadakan jika benar – benar memberikan keuntungan yang relatif pasti baik bagi penyelenggara maupun peserta didik.  Konsekuensi dari pendekatan ini adalah tidak semua anak dapat mengenyam pendidikan di RSBI , sebab RSBI lebih menekankan efektifitas pendidikan dalam mencapai hasil yang optimal baik secara kuantitas maupun kualitas , sehingga input pun di ambil dari anak – anak yang memiliki kemampuan unggul baik secara akademik, emosional, spiritual bahkan finansial.
Lahirnya RSBI juga membawa dampak komersialisasi pendidikan kepada para pelanggan jasa pendidikan, semisal masyarakat, siswa atau orang tua. Indikasinya adalah nampak ketika RSBI menarik puluhan juta kepada siswa baru yang ingin masuk sekolah RSBI. Hal ini berdalih karena bertaraf Internasional, dilengkapi dengan sistem pembelajaran yang mengacu pada negara anggota OECD , menggunakan teknologi canggih, bilingual dan lain sebagainya.
3.    Psikologis
Bergulirnya otonomi sekolah melahirkan MBS (manajemen berbasis sekolah) yang digunakan sebagai legitimasi untuk menentukan kebijakan sistem pembelajaran di sekolah. Sedangkan dalam RSBI sekolah masih dibelenggu dengan sistem pembelajaran dari negara lain.
            Hal tersebut juga berakibat terhadap siswa, di mana siswa RSBI selama ini dihadapkan pada dua kiblat yakni UNAS dan Cambridge misalnya. Padahal siste adopsi atau berkiblat pada sistem ujian Cambridge ataupun IB sebagaian menilai bahwa hal tersebut merupakan sebuah pengkhianatan terhadap tujuan pendidikan nasional itu sendiri. Dicontohkan bahwa di negara – negara maju seperti Singapura, Australia, dan New Zeland pemerintah tidak membiarkan sistem pendidikan luar ataupun Internasional semacam cambridge ataupun IB masuk dan digunakan dalam kurikulum sekolah mereka.
Konsep SBI cenderung lebih menekankan pada alat daripada proses. Indikasi ini nampak ketika penyelenggaraan RSBI lebih mementingkan alat/ media pembelajaran yang canggih, billingual, berstandar Internasional daripada proses penanaman nilai pada peserta didik.





[1] E.Mulyasa, Kurukulum Tingkat Satuan Pendidikan, cet. Ke – 3 (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2007), hlm.2.

Sunday 10 June 2012

PERANAN SEKOLAH DALAM MENANAMKAN AHLAKUL KARIMAH DAN KECERDASAN INTELEKTUAL , SPIRITUL DAN EMOSIONAL GURU DAN SISWA DI SEKOLAH MENENGAH PERTAMA NEGERI (SMPN I ) JATIPURNO WONOGORI TAHUN AJARAN 2012/2013 (PROPOSAL)


BAB I
PENDAHULUAN
  1. Latar Belakang Masalah
Pendidikan merupakan salah satu lembaga sosial tertua yang selalu mengalami dampak perubahan- perubahan di dalam masyarakat. Dengan adanya perkembangan sistem komunikasi dan informasi akhir- akhir ini, perkembangan  ilmu pengetahuan dan teknologi memberikan pengaruh yang menyebar ke seluruh dunia.
Perkembangan teknologi menunjukkan dampak yang lebih besar terhadap keadaan masyarakat secara keseluruhan. Jika konsep- konsep baru pada bidang ilmu pengetahuan itu diimbangi oleh pengembangan teknologi tepat guna serta penanaman nilai-nilai profetis, yang bermanfaat dan dapat diterapkan dalam  kehidupan manusia,  maka dapat dipastikan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan itu akan mempunyai dampak yang signifikan dengan dunia pendidikan.
Pembangunan dengan paradigma ideologi- ideologi modern yang menjanjikan kemajuan  yang menggiurkan dalam ilmu dan teknologi serta pertumbuhan ekonomi. Namun di balik itu, muncul realitas- realitas yang menggerogoti martabat manusia, adanya pergeseran nilai, ekslusivisme- radikal berkedok agama dan penyimpangan perilaku keagamaan, sehingga lahir apa yang disebut “nestapa manusia modern” yang hidup serba dilematis, hipokrit dan materialistik.[1]
Filusuf  Post modern Jean Baudrillard menyatakan bahwa dunia yang dilanda demam globalisasi berimplikasi pada pergeseran nilai. Era ini ditandai dengan mencairnya batas- batas normatif sehingga apa yang dinamakan “tabu” atau sakral menjadi semakin hilang, semua persoalan dan informasi menjadi ranah publik yang bebas diperbincangkan dan dikonsumsi secara umum. Persoalan yang dalam perspektif sosial keagamaan masuk kedalam wilayah tabu dan sakral, saat ini terdekonstruksi secara massif. Manusia dilihat hanya sebagai simbolisasi angka- angka statistik demografis yang dipandang dan dihadirkan tanpa perasaan dan hati nurani. Jiwa manusia direduksi sedemikian rupa bagaikan sosok- sosok robot mekanis yang tunduk (deterministik) pada kekuatan pasar, mesin industri dan mekanisme birokrasi.[2]
Dewasa ini peran agama seringkali kita jumpai hanya sebagai sesuatu yang  dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan, agama  bukan untuk tuntunan kehidupan, agama hanya something to use but not to live. Tidak dapat diingkari, saat ini justru  nilai- nilai keagamaan-lah yang mengalami erosi, pengikisan yang paling dahsyat, penghargaan atas kebebasan beragama terdistorsi oleh maraknya eklusivisme-radikal yang kian massif, pola hidup konsumtif yang sebenarnya ditolak oleh agama manapun justru kian hari kian berkembang, tanpa diimbangi oleh kemampuan yang cukup untuk meningkatkan produktifitas kerja kita, sehingga semakin mendorong dan meluasnya budaya korupsi. Orang berpaling kepada Tuhan, tetapi tidak berpaling dari dirinya sendiri. Agama hanya digunakan untuk menunjang motif- motif lain; kebutuhan akan status, rasa aman atau harga diri.
Gordon W. Allport menyatakan cara beragama seperti sebagai cara beragama yang ekstrinsik dan erat kaitannya dengan penyakit mental.[3] Agama sejatinya menjadi landasan spiritual, etik bagi kehidupan manusia dalam dunia modern ini. Daniel Bell seorang sosiolog mengatakan kalau agama dituntut untuk memberikan jawaban secara matematis dan praktis jelas tidak bisa, namun agama mempunyai kemampuan responsi secara moral terhadap persoalan- persoalan modern dewasa ini.[4]
Thomas Merton, dalam bukunya Mysticism in the Nuclear Age, berkata : “ Anda tidak dapat mendatangkan kedamaian tanpa disertai amal saleh. Anda tidak dapat memperoleh tatanan sosial tanpa kehadiran kaum mistik, orang- orang suci dan nabi- nabi”.[5]
Pendapat Merton diatas menunjukkan bahwa dalam beragama dituntut -hadirnya- perilaku yang sesuai dengan nilai- nilai ajaran agama. Sungguh mustahil agama hadir tanpa wujud, tanpa adanya moralitas perbuatan, hal ini karena agama dan perbuatan bagaikan satu kesatuan yang utuh, saling berkaitan dalam kehidupan beragama manusia. Oleh karena itu, persoalannya bukanlah usaha menghindari permasalahah, tetapi justru perlunya menghadapi permasalahan itu secara cerdas dengan mengidentifikasi dan memahami substansinya untuk kemudian dicari solusinya dan pendidikan merupakan upaya untuk memberikan panduan dan memandu manusia dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik bermartabat dan bermanfaat bagi diri, masyarakat dan lingkungannya.
Pendidikan adalah suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Dengan kata lain, pendidikan tidak hanya berlangsung di dalam kelas, tetapi berlangsung pula di luar kelas. Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadian sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat dan kebudayaan.
Pendidikan sebagai upaya untuk memberikan solusi perkembangan dan perubahan kemanusiaan secara dinamik dan gradual berkaitan erat dengan sekolah utamanya sekolah formal. Sekolah sebagai proses pengembangan kepribadian peserta didik  berusaha memberikan bantuan kepada peserta didik untuk mengembangkan dirinya secara utuh berdasarkan kasih. Sekolah berdiri diantara peserta didik dan Tuhan yang memberinya tanggungjawab. Sekolah dengan berbagai upaya dan seluruh elemen sekolah  yang terus- menerus membimbing, memproses dan mengantarkan peserta didik kearah pengenalan akan ciptaan Tuhan dengan segala hukum- hukumNya.
Dalam Pasal I UU Sisdiknas Tahun 2003 disebutkan  bahwa di antara tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik untuk memiliki kecerdasan, kepribadian dan akhlak mulia. Dengan demikian pendidikan tidak hanya membentuk insan cerdas, namun juga berkepribadian atau berkarakter kuat dan berakhlak mulia yang bernafas nilai-nilai luhur bangsa dan agama.
Fungsi utama pendidikan bila ditinjau dari sudut pandang sosiologi dan antropologi adalah untuk menumbuhkan kriativitas peserta didik, dan menanamkan nilai yang baik. Menurut pandangan manusia dan Tuhan Yang Maha Esa.[6]
Tujuan Pendidikan di Indonesia dituangkan dalam Tujuan Pendidikan Nasional yang diidealisasikan sebagaimana termuat dalam UU-RI No.2 Tahun 1989, Pasal 4, di mana,”Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya,yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,memiliki pengetahuan dan ketrampilan,kepribadian yang mantap dan mandiri,serta tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan”.[7]
Jika idealisasi itu menjelma dalam realita, maka arus siswa akan memasuki pendidikan per-jenjang, dan tatkala mereka lulus, mereka akan menjadi modal utama lahirnya Sumber Daya Manusia yang terampil, duduk pada jajaran terdepan, memiliki moralitas tertinggi. Dan tatkala mereka duduk dalam jajaran birokrasi pada tingkat manapun, komitmen moral yang dimiliki makin kokoh dengan diikat sumpah jabatan.
Disaat  gelombang arus modernisasi menerpa  pada peserta didik maka sekolah  sebagai ujung tombak pendidikan, kerap kali melakukan hal-hal yang jelas-jelas tidak mencermikan pendidikan dan juga banyak sekali guru sebagai ujung tombak pendidikan  melanggar sumpah jabatanya. Maka tak ayal lagi, efek moral yang ditimbulkanya,akan menjadi bumerang bagi peserta didik.
Para ahli pendidikan Islam telah sepakat bahwa maksud dari pendidikan dan pengajaran bukanlah memenuhi otak peserta didik dengan segala macam ilmu yang belum mereka ketahui, tetapi maksudnya ialah mendidik ahlak dan jiwa mereka, menanamkan rasa fadhilah (keutamaan), membiasakan kesopanan yang tinggi, mempersiapkan mereka untuk suatu kehidupan yang suci seluruhnya ikhlas dan jujur. Oleh karena itu semua pendidik hendaklah memperhatikan ahlak keagamaan sebelum yang lain-lainya. Karena ahlak keagamaan adalah ahlak yang tertinggi, sedang ahlak yang mulia itu adalah tiang dari pendidikan Islam.
Namun fakta dilapangan menununjukan fenomena yang lain, dimana sekolah yang semestinya mengembangkan potensi setiap peserta didik akan tetapi, kerap sekali sekolah lewat lingkungan dan pergaulan memberikan contoh-contoh yang kurang baik pada peserta didik, apakah itu disengaja ataupun tidak disengaja, baik berupa ucapan tindakan ataupun tingkah laku yang terbangun dalam lingkungan sekolah mulai dari kepala sekolah, guru, karyawan, dan seluruh pihak yang terlibat di suatu sekolah.
Sebagai pelaku kedua setelah pendidikan keluarga, maka sekolah seharusnya menyadari apa yang harus dilakukan sehubungan dengan tugas dan kewajibanya. Namun banyak sekali sekolah (seluruh elemen sekolah) yang tidak memahami tugasnya.  Bahkan sebagai pelaku utama ada sebagian guru yang berasumsi tugas mendidik perilaku keagamaan itu hanya dibebankan pada guru agama saja. Paradigma tujuan diatas menyebabkan guru mengira bahwa pendidikan searti dengan pengajaran yang tujuanya memperoleh ilmu pengetahuan, atau lulus ujian. Sehingga sekolah hanya berusaha semaksimal mungkin mentrasfer ilmu pengetahuan sebanyak-banyaknya kepada peserta didik dan memenuhkan ingatanya dengan intisari pelajaran. Sehingga nantinya memungkinkan mencapai kesuksesan dalam ujian. Pengertian lebih sempit dari itu ialah intinya ilmu itu dapat dipergunakan  apa saja, sehingga ilmu itu akan bisa membahayakan bagi siapa saja.[8]
Pola pembelajaran yang cenderung berporos pada pengembangan superioritas tunggal (memacu prestasi belajar akademik) adalah salah satu kerancuan praksis pendidikan. Hal ini ditandai dengan sistim pembelajaran yang tidak terindividualisasikan, praksis pragmatis pendidikan dengan mengejar skor melalui latihan, komunikasi guru murid cenderung satu arah, dan pengorganisasian pembelajaran cenderung hanya mempermudah kerja di lingkungan sekolah dan sebagainya.
Asumsi dasarnya adalah makin tinggi intensitas otak intelektual, makin tinggi pula keberhasilan pendidikan. Bentuk riilnya seperti pelatihan mengerjakan soal, kegiatan bimbingan belajar, les prifat, dan lain-lain yang memoros pada sekedar tahu apa yang dipelajari. Ahirnya muncul anak-anak dan generasi muda yang cerdas, namun tidak disertai dengan optimalisasi otak secara spiritual dan emosional (sosial)
Optimalisasi otak emosional itu antara lain diperoleh melalui pendidikan budi pekerti /ahlak, dan pembangkitan sifat-sifat humanitas dan pemanusiaan pada umumnya. Fenomena kekerasan, perkelaihan pelajar, perbuatan asusila dan sebagainya yang menggejala ahir-ahir ini merupakan bukti nyata kegagalan asah otak emosional, karena itu justru dilakukan oleh mayoritas orang-orang yang tengah atau telah menempuh pendidikan tertentu.
Dr.Daniel Goleman Dalam bukunya yang berjudul Emotional Intelegence, salah satu buku terlaris di Amerika Serikat bahkan di dunia ketika baru diterbitkan, telah mematahkan mitos otak kecerdasan, dengan sebuah teses mereka  bahwa’’otak kecerdasan (IQ) itu kurang bermanfaat secara signifikan dalam kehidupan tanpa kehadiran otak emosional (EQ), terutama dalam proses interaksi dengan teman sejawat dan pekerjaan. Paradigma dasarnya adalah: bahwa manusia berkualitas tinggi adalah mereka yang cerdas penalaran dan cerdas emosional. Bahkan Daniel Goleman mengestimasi bahwa sukses tidaknya seorang menjalani proses kemanusiaan, 80 persen disebabkan oleh EQ, dan IQ hanya 20 persen. Meski Goleman sendiri mengakui bahwa untuk jenis pekerjaan tertentu, hanya pekerja dengan IQ, tertentulah yang emosionalnya dapat berkembang.[9]
Pendapat Daniel Goleman tersebut kiranya bisa kita terima, mengingat tugas uatama pendidikan disekolah adalah mengoptimalkan seluruh kemampuan peserta didik. Ilmu pengetahuan saja tidak cukup tanpa ahklak. Maka dalam pendidikan Islam ahlak merupakan jiwa dari pendidikan Islam.Tanpa ahlak sehabat apaun ilmu yang dimiliki, tidak akan pernah berguna dan bermanfaat untuk kehidupan.
Proses pendidikan harus melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Tiga aspek tersebut merupakan satu kesatuan yang bersinergi secara utuh. Jika salah satu tidak ada maka pendidikan tidak akan berjalan secara efektif. Dari proses kesadaran seseorang mengetahui tentang nilai-nilai yang baik (knowing the good), lalu merasakan dan mencintai kebaikan (feeling and loving the good) itu sehingga terpatri dalam jiwanya yang akhirnya menjadi berkakter kuat untuk melakukan kebaikan.
Feeling and loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadi power yang bisa membuat orang senantiasa mau berbuat sesuatu kebaikan. Hakikat  loving pasti mengandung unsur pengorbanan dan keikhlasan. Sehingga tumbuh kesadaran bahwa, orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Dari dua aspek kesadaran mengetahui dan mencintai nilai-nilai kebenaran itu, seseorang akan ringan melakukan hal-hal yang baik dalam prilaku sehari-hari. Tiga proses tersebut secara terus menerus dilakukan dan dialami, sehingga menjadi endapan-endapan pengalaman. Dari endapan-endapan pengalaman itu berubah menjadi kebiasaan dan karenanya menjadi karakter yang kuat dan positif.
Menurut Abdullah Munir berpendapat bahwa kebiasan yang dilakukan secara berulang-ulang yang didahului oleh kesadaran dan pemahaman akan menjadi sebuah karakter seseorang, gen hanya menjadi salah satu faktor saja. Dalam kehidupan modern seperti sekarang ini, produk pendidikan sering hanya diukur dari perubahan eksternal yaitu kemajuan fisik dan material yang dapat meningkatkan pemuasan kebutuhan manusia. Produk pendidikan dapat menghasilkan manusia yang cerdas dan terampil untuk melakukan pekerjaannya, tetapi tidak memiliki kepedulian dan perasaan terhadap sesama manusia. Ilmu pengetahuan yang dikembangkan menjadi instrumen kekuasaan dan kesombongan untuk memperdaya orang lain, kecerdikan digunakan untuk menipu dan menindas orang lain, produk pendidikan menghasilkan manusia serakah dan egois.
Distorsi nilai-nilai rohaniyah begitu nampak terlihat, seolah-olah nilai kemanusiaan telah mati, alat-alat diubah menjadi tujuan, produksi dan konsumsi barang-barang menjadi tujuan hidup, banyak manusia yang tidak tergetar hatinya ketika disebut nama Tuhan, tidak merasa takut dengan ancaman Tuhan, padahal sesungguhnya sebuah pendidikan harus dapat menghidupkan nuansa spiritual manusia, menumbuhkan nilai kemanusiaan dan ketuhanan dalam batinnya, di samping mengembangkan manajerial untuk memenuhi kebutuhan obyektifnya.
Ketidakberhasilan tertanamnya nilai-nilai rohaniah (keimanan dan ketaqwaan) terhadap perserta didik dewasa ini sangat terkait dengan dua faktor penting dalam proses pembelajaran di samping banyaknya faktor-faktor yang lain, kedua faktor tersebut adalah strategi dan metode pembelajaran serta orang yang menyampaikan pesan ilahiyah dari seorang pendidik.
Strategi pendidikan yang komprehensif, sistematis, aktual dan kontekstual  perlu diupayakan, terlebih strategi untuk mempersiapkan guru sebagai media transformasi pembelajaran perlu diberdayakan pada bidang kompetensi akademik, kecakapan, profesionalisme dan pemahaman cara beragama serta kemampuan analisa-kritis- kontekstual  sehingga apa yang diamanatkan dalam tujuan pendidikan Nasional dapat tercapai.
Selain itu pendidikan sejati merupakan proses pembentukan moral beradab, masyarakat yang tampil dengan wajah kemanusiaan dan pemanusiaan yang normal. Sekolah sebagai  ujung tombak proses pemanusiaan dan kemanusiaan telah diterima sepanjang sejarah dan peradaban mestinya tidak hanya tercermin dalam mentrasfer keilmuan. Namun lebih dari itu Sekolah  adalah salah satu bagaian yang fundamental dalam pendidikan maka harus mengoptimalkan segala kemampuan peserta didik sehingga peserta didik tidak hanya pandai dalam aspek intelektual tetapi juga matang secara spiritual dan sosial
Sebagai pelaku Utama pendidikan di sekolah Seorang guru /pendidik harus dapat menanamkan ahlak yang baik kepada para peserta didik. Penanaman ahlaqul karimah ini harus dimulai dari dirinya sendiri dulu. Karena melalui contoh dan ketauladanan guru siswa akan meniru dan mempraktekan ahlakul karimah dalam kehidupan sehari-hari. Dengan demikian guru harus melatih dan mendidik para siswanya dengan pendidikan kejiwaan sehingga ahlak itu akan menjadi kebiasaan yang tertanam dalam jiwa mereka yang tidak akan terpisahkan dari kehidupan mereka.
Dari uraian diatas apabila dikaitkan dengan pengamatan peneliti, ternyata selama ini ada banyak sekali sekolah – sekolat yang hanya sekedar formalitas dan mentrasfer keilmuan semata tanpa mengembangkan seluruh aspek yang ada dalam jiwa peserta didik.  Selain itu dari beberapa hal yang peneliti amati diantaranya, sering kali disekolah terjadinya kekerasan fisik yang dilakukan oleh oknum guru terhadap siswanya, sikap guru yang kurang menghargai muridnya, mengeluarkan kata-kata kotor yang tidak senonoh kepada siawa, menghukum siswa yang telat dengan porsi hukuman yang tidak sebanding dengan kesalahanya, dan masih banyak lagi contoh-contoh perilaku di sekolah yang tidak mendidik.
Keadaan diperparah dalam pola pembalajaran yang cenderung satu arah, tidak mau menerima kritikan murid, datang dan masuk kelas pembukaan dan penutupan, nongkrong di depan kelas saat mengajar, asik ngobrol dengan temanya saat mengajar, dan lain-lain. Fenomena-fenomena tersebut diatas seringkali peneliti temukan di beberapa sekolah baik negeri maupun swasta.
SMPN 1 Jatipurno wonogiri sebagai salah satu lembaga pendidikan menengah dengan label SSN mestinya berbeda dan mempunyai cara – cara tertentu untuk mengembangkan seluruh aspek peserta didik melalui wadah sekolah mulai dari kepala sekolah, Guru, karyawan sampai pada pesuruh dan tentunya seluruh pihak yang terlibat dalam sekolah
Dari latar belakang tersebut diatas maka peneliti ingin meneliti tentang ”Peran Sekolah Dalam Menanamkan Akhlaqul Karimah Dan Kecerdasan Intelektual, Spiritual, dan Emosional  Pada Guru dan Siswa Di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri
  1. Rumusan Masalah
Untuk membatasi permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini serta mempermudah analisis yang dilakukan maka dirumuskan dalam bentuk pertanyaan penelitian sebagai berikut :
                                 1.         Bagaimanakah  peran   sekolah  dalam    menanamkan   ahlaqul   karimah   pada  guru dan Siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri ?
                                 2.         Bagaimanakah   upaya  Sekolah  dalam   menanamkan    kecerdasan    Intelektual, spiritual dan Emosional   pada  Guru dan  siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri  ?
                                 3.         Adakah   peran    Sekolah   dalam    menanamkan    ahlaqul   karimah   dan  kecerdasan Intelektual, spiritual dan Emosional pada Guru dan Siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri?

  1. Tujuan Penelitian
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran tentang peran sekolah  dalam menanamkan ahlaqul karimah dan kecerdasan Intelektual, spiritual dan Emosional Guru dan Siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri. Secara khusus penelitian ini bertujuan untuk mengetahui :
                                 1.         Seberapa  jauh  peran  sekolah   dalam   menanamkan  akhlaqul  karimah  pada guru dan siswa  SMPN 1 Jatipurno Wonogiri.
                                 2.         Upaya-upaya yang dilakukan Sekolah  dalam menanamkan   kecerdasan   Intelektual, spiritual dan Emosional pada Guru dan Siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri
                                 3.         Peran  dan partisipasi sekolah  dalam menanamkan akhlaqul karimah dan kecerdasan Intelektual, spiritual dan Emosional pada Guru dan Siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri

  1. Manfaat Penelitian
Sedang kegunaan dari dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, diantaranya :
                                 1.         Bagi pihak sekolah, sebagai upaya dalam memberikan pemahaman dan pengembangan dalam pendidikan terhadap Guru dan siswa, memberikan pemahaman agar tidak terjadi salah paham yang berkaitan dengan permasalahan yang disebabkan karena perilaku (akhlak) baik guru maupun siswa dan kondisi penanaman kecerdasan intelektual, spiritual dan  emosional Guru dan siswa.
Pembentukan budaya akhlaqul karimah  secara intens oleh diri dan sekolah merupakan media tumbuh dan berkembangnya kecerdasan intelektual, spiritual dan  emosional yang ideal pada kesadaran beragama baik bagi guru maupun  siswa. Diharapkan nantinya penelitian ini dapat dijadikan acuan dan panduan untuk menciptakan kultur kesadaran beragama, kerjasama (cooperative) dan spirit untuk saling tolong menolong diantara siswa, guru dan sekolah dalam mewujudkan lingkungan pendidikan yang ideal.
                                 2.         Bagi pengembangan ilmu, merupakan upaya pengembangan mutu kualitas pendidikan dan pola, teknik pengajaran guru pada umumnya dalam membangun kesadaran beragama pada Guru dan siswa. Pemahaman konsep akan pentingnya menumbuhkan semangat berakhlaqul karimah  dan kecerdasan emosional dengan baik adalah sebagai upaya menciptakan ide- ide, gagasan- gagasan ideal pada proses mewujudkan kesadaran beragama siswa sehingga proses input – proses – output pendidikan di sekolah agar dapat terealisasikan dengan baik.
                                 3.         Bagi peneliti, diharapkan dari hasil penelitian ini dapat memberikan pengertian dan pemahaman baru tentang jalinan sinergis, interaksi antara akhlaqul karimah  dengan kecerdasan intelektual, spiritual dan  emosional yang terjadi pada Guru dan siswa sebagai upaya untuk menciptakan kesadaran beragama dan juga sebagai upaya untuk menciptakan lingkungan pembelajaran yang kondusif  di lingkungan sekolah . Selain itu merupakan upaya untuk menjawab dan mengungkap keingintahuan (curiousity) bagi peneliti tentang bagaimana peranan sekolah dalam menanamkan akhlaqul karimah dan kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional baik bagi guru maupun peserta didik yang terjadi di SMPN 1 Jatipurno.

  1. Sistimatika Pembahasan.
            Untuk menyajikan bahasan ini secara sistematis, maka penelitian ini dibagi menjadi lima bab. Secara berurutan dibahas pendahuluan, landasan teori, metode penelitian, hasil penelitian serta kesimpulan dan saran.
Bab I Pendahuluan. Berisi tentang latar belakang masalah,rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika pembahasan.
Bab II Landasan Teori yang berisi, Sekolah  dan peranannya dalam pendidikan, konsep tentang akhlak,  kedudukan ahlak  dan konsep tentang kecerdasan intelektual, spiritual dan  emosional
Bab III Metodologi Penelitian, berisi tengang jenis penelitian, waktu dan tempat penelitian, fokus penelitian, tehnik pengumpulan data dan tehnik analisa data.
Bab IV, Hasil penelitian yang berisi tentang data umum penelitian tentang SMPN 1 Jatipurno wonogiri . Data Khusus tentang peranan sekolah dalam menanamkan akhlaqul karimah dan kecerdasan Intelektual, Spiritual dan emosional pada guru dan siswa di SMPN 1 Jatipurno Wonogiri
Bab V, berisi kesimpulan dan saran, Bagian ini merupakan akhir dari sebuah tesis.














[1] Erich Fromm, Psychoanalysis and Religion (Yale University Press, 1972), 39
[2] As’aril Muhajir, Ilmu Pendidikan Perspektif Kontekstual (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2001), 38
[3] Jalaluddin Rakhmat, Psikologi Agama Sebuah Pengantar (Jakarta: Penerbit Mizan, 2004), 46
[4] Abdul Jalil Isa, Ijtihad Rasul SAW, terjemahan M. Masyhur Amin (Bandung: PT. Al- Maarif, 1980), 59
[5] Rahmat., op.cit., 27
[6] H.M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar,  1996), 99
[7] Prof.Dr.Sudarwan Danim, Agenda Pembaharuan Sistim Pendidikan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 63.
[8] Dr.M.Miftahul Ulum, M.Ag, Pengantar Ilmu Pendikan Islam (Ponorogo: STAIN Ponorogo Press, 2007), 47
[9] Prof.Dr.Sudarwan Danim, opcit.hal 135-136